Bab 13: Kalung Raja Frederick

8 1 0
                                    


CYRIL merasakan embusan napas yang menerpa wajahnya menjauh. Beban berat dari tubuhnya mulai menghilang. Dengan perlahan ia membuka sedikit matanya untuk melihat keadaan. Hewan magis sudah tidak ada di atasnya.

Dengan tertatih, ia bangkit menjadi setengah duduk. Hewan magis itu berdiri—dengan sorot yang masih tajam—dua meter dari tempatnya. Cyril mengamati bajunya yang sudah compang camping. Kalung di dadanya berpendar dan terasa sedikit hangat di kulit.

"Dari mana kau dapatkan kalung itu?" tanya sebuah suara yang Cyril yakini berasal dari hewan magis itu.

Hewan itu masih mengamatinya dengan sorot tajam, tetapi tidak menunjukkan taringnya lagi. Cyril menggenggam kalungnya dengan erat. Ia menebak apakah hewan magis itu tidak jadi menyerangnya karena kalung yang ia pakai.

"Ini kalung kakek buyutku," jawab Cyril membalas tatapan hewan magis.

"Jadi, kau cucu buyut Frederick?"

"Benar. Namaku Cyril." Tebakan Cyril benar, makhluk itu mengenali kakek buyutnya. Ia harus mengunjungi makam kakek buyutnya nanti setelah menyelesaikan misinya dengan selamat untuk berterima kasih.

"Ada urusan apa kau ke sini? Aku melihat kau bersekutu dengan para pemburu itu. Apakah kau akan memulai perburuan lagi?" tanya makhluk itu dengan nada waspada.

"Tidak," sahut Cyril cepat. "Aku minta tolong kepada mereka untuk mengajariku menghadapi para monster karena ingin pergi ke puncak gunung. Aku tidak berniat memburu ras kalian."

Makhluk itu mengendurkan kewaspadaannya kemudian duduk. "Apa yang kau cari di sana?"

"Aku ingin masuk ke kerajaan bawah."

"Apa kau mau bunuh diri, Pemuda?" ejek makhluk itu.

"Aku ... aku tahu itu mustahil, tetapi aku ingin mencari batu bertuah."

Makhluk magis mendengus, meremehkan tujuan sang pangeran. "Apa kau ingin mencontoh setiap tindakan kakek buyutmu? Dulu, Frederik sukses mengambilnya, tetapi kali ini aku tidak yakin kau juga berhasil. Kau bahkan sendirian dan tidak memiliki ilmu sihir."

"Tapi aku harus melakukannya untuk menyelamatkan keluargaku," tegas Cyril. Ia lalu menceritakan apa yang terjadi dengan keluarganya dan ingin membalas dendam untuk ayahnya.

"Pergilah kalau kau sudah bertekad. Mungkin kekuatanmu masih kurang, tetapi kalung itu akan melindungimu," ujar makhluk magis. Kemudian, mata birunya berkilat sekilas dan baju Cyril kembali seperti semula, seperti tidak pernah terkoyak sebelumnya.

"Panggil aku Amon jika kita bertemu lagi nanti." Dalam sekejap, makhluk itu menghilang dari pandangan.

Cyril berdiri. Selain bajunya yang kembali rapi, tubuhnya juga terasa ringan. Rasa sakit yang ia rasakan sebelumnya telah menghilang. Dari tempat Amon menghilang, Cyril melihat pendar biru dari pedangnya.

***

Cyril melanjutkan perjalanannya ke puncak. Hutan yang ia lewati vegetasinya semakin rapat. Anehnya, setelah bertemu dengan Amon, tidak ada lagi monster atau hewan magis lain yang melintas atau mengganggu perjalanannya.

Cyril istirahat sejenak untuk mengambil air. Pertarungan yang tiada habisnya dan jalan yang semakin menanjak membuat tenggorokannya sekering gurun pasir. Ia meneguk air yang ada di atas daun lebar seperti payung terbalik. Kemudian, ia mengambil beberapa buah jenis berry yang tidak jauh dari tempatnya. Buah asam bercampur manis itu sedikit menenangkan perutnya yang mulai keroncongan.

Sebelum berangkat, Cyril mengumpulkan beberapa berry di kantongnya untuk bekal di perjalanan. Setelah kantongnya penuh, ia berjalan lagi. Beberapa jam berlalu, vegetasi semakin berkurang dan samar-samar tercium bau belerang. Cyril menambah kecepatannya agar segera sampai.

Perjalanan semakin sulit, kondisi tanah semakin menanjak dan berbatu. Bahkan, sang pangeran harus melewati tebing yang di sebelahnya jurang yang sangat dalam. Setelah satu jam lebih, akhirnya ia sampai di bibir kawah.

Keringat sudah membasahi baju yang ia kenakan. Namun, perjalanan masih panjang. Bahkan, ini baru saja dimulai. Cyril harus bisa menemukan gua yang diceritakan Tuan Robinson sebelum menjelang siang. Jika matahari sudah naik, belerang akan semakin banyak. Hal itu akan sangat berbahaya untuknya.

Cyril mulai melangkah ke bawah. Berpegangan di batu-batu berwarna putih. Jalan menurun semakin terjal dan bau seperti telur busuk semakin kuat. Track yang sulit ditambah dengan keadaan malam yang sangat gelap karena tidak ada bulan, membuat Cyril harus tetap waspada. Tangannya sudah kebas tertusuk oleh batu-batu runcing di dinding kawah.

Saat Cyril istirahat sejenak dengan menempelkan punggungnya ke dinding, ia melihat langit di sebelah timur memunculkan semburat kuning. Cyril mempercepat gerakannya agar segera berpindah sebelum matahari terbit. Karena gelap pula, ia belum bisa menemukan di mana letak guanya. Ia harus mencari tempat yang bisa melihat dengan jelas kondisi di dalam lubang raksasa ini.

Di momen ini, Cyril teringat saat ia masih di akademi. Saat itu, ia masuk klub ilmu pedang, panahan, dan kegiatan fisik lain yang bisa ia gunakan untuk pengalihan stres. Ada suatu waktu para pelajar yang mengikuti klub pergi ke gunung dan melakukan pelatihan fisik. Salah satunya adalah panjat tebing. Ia bersyukur sekarang pengalaman itu memudahkannya melalui jalur ini.

Kemudian, mendadak terdengar sura gemuruh. Tidak lama, kerikil-kerikil mulai berjatuhan dan dinding yang menopang tubuhnya bergetar. Cyril mengencangkan pegangannya ke batu yang lebih kuat. Merasa kurang kuat, ia mengambil pedangnya untuk ditancapkan ke dinding. Namun, sebelum sempat pedangnya menancap, getaran di tanah semakin dahsyat. Kaki Cyril limbung dan terpeleset.

Oh, tidak!

"Aaarrrgh!"

The Winchester's OdisseyWhere stories live. Discover now