hanya dipilihkan

126 11 0
                                    


Selesai membersihkan diri rain tidak langsung tidur dia akan belajar terlebih dahulu seperti biasa, tapi malam ini sepertinya rain akan memilih untuk tidur lebih awal di bandingkan belajar.

Rain berbaring menyamping menghadap lampu tidur yang ada di meja samping ranjangnya, air matanya tiba-tiba saja jatuh.

Rain menangis tapi tidak mengeluarkan suaranya dirinya sekuat tenaga menahan isakan jika saja mulutnya terbuka.

Apa kau satu sekolah dengan jenan?" sekolah dengan jenan?"

" Saya adik kelas kk jenan tuan, kebetulan saya anak biasiswa disana"

"Anak biasiswa?, Jenan, Kau tidak pernah menceritakan kepada ayah kalau punya teman adik kelas?"

"kau anak biasiswa dari 5 orang yang aku juga berikan bantuan kan?"

........








"Iya tentu, aku memberikan biasiswa kepada siswa yang memang pintar tentunya. Dan kau salah satunya. Tidak hanya pintar dalam belajar, tapi juga sepertinya dirimu pintar mengambil perhatian anakku, iyakan rain?".

Rain menangis mengingat perkataan ayah jenan tadi.

Hatinya terlalu sakit atas kejadian hari ini.

" Hiks aku bahkan tidak tau akan berakhir dengan takdir seperti apa t-tapi aku sungguh seperti orang yang sangat terhina hiks"

Rain masih mengingat perkataan ayah jenan tadi bagaimana secara tidak langsung dirinya dan orang tuanya direndahkan.

Rain menangis dengan sesegukan perkataan tuan abitama masih terngiang dikepalanya.

"Aku juga ingin terlahir dari keluarga yang kaya tapi Tuhan memberiku jalan yang berbeda hiks" Pada akhirnya rain akan tetap sulit menemukan bahagia dalam hidupnya.

Malam itu rain hanya bisa menangis hingga tertidur untuk melupakan perkataan-perkataan jahat itu.



***

Jenan berjalan dengan terburu menghampiri orang tuanya di meja makan, lebih tepatnya ibunya. Dia berangkat lebih pagi hari ini karna harus menyelesaikan satu urusan sekaligus meminta izin pada ibunya bahwa dia akan pulang agak terlambat malam nanti untuk latihan taekwondonya.

"Ibu aku pergi dulu dan aku mungkin hari ini pulang agak terlambat karna harus latihan untuk turnamen ku"

"Iya hati -hati kalau begitu jangan sampai terluka mengerti"

"Aku mengerti, aku mencintaimu ibu"

Jenan mengecup singkat pipi sang ibu sebelum beranjak pergi, tapi pertanyaan ayahnya membuatnya menghela nafas lagi hari ini.

"Kau masih mengikuti kelas bela diri itu?" Doni yang sejak tadi diam memperhatikan akhirnya angkat bicara mengenai kegiatan jenan, bukankah dia sudah melarang jenan untuk mengikuti kelas seperti itu lagi.

"Iyah aku masih mengikutinya" Jenan dengan enggan menjawab bahkan melihat ke arah ayahnya pun rasanya begitu enggan, kejadian semalam masih terekam jelas dalam ingatan jenan.

" Bukankah ayah sudah menyuruhmu untuk berhenti jenan? Kenapa masih saja mengikuti hal yang sia-sia seperti itu" ayahnya berucap dengan dingin melihat kearah punggung sang anak.

"Kenapa aku harus berhenti? Kenapa aku harus mengikuti semua keinginan ayah!" Ini masih pagi tapi jenan harus berurusan lagi dengan ayahnya untuk masalah seperti ini.

Sendok itu diletakkan dengan kasar oleh Doni berdiri menghadap anaknya yang mulai kurang ajar padanya.

"Jangan menjadi anak yang kurang ajar jenan! Ayah melarang, karna itu semua demi kebaikanmu! Masa depanmu! Apa itu saja kau tidak bisa memahaminya!?"

Dream (noren)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant