07. Perfect Pain

111 18 6
                                    

07 Perfect Pain

.

Satu persatu orang meninggalkan rumah  keluarga Jatmika. Elena masih duduk di kursi dengan berakting tengah menikmati kudapan yang sempat Kaisar bawa. Ia tak peduli bahwa keluarga pria itu menatapnya tak suka. Elena berpura-pura tidak menyadarinya.

Sementara Kaisar sesekali mengumbar senyum saat mereka berpamitan. Suara yang ramai itu perlahan memudar, menyisakan sedikit kebisingan dari beberapa pelayan yang membersihkan bekas jamuan. Kudapan yang Elena makan pun telah tandas.

"Kita bisa pulang sekarang?" Elena bertanya seraya membersihkan tangannya menggunakan tisu.

"Mama meminta kita berkumpul di ruang keluarga setelah makan."

Elena bangkit dari kursi. "Kalau begitu ayo."

Kaisar memimpin jalan, mereka kembali memasuki rumah lewat akses pintu belakang. Melewati tangga untuk mencapai lantai dua, suasana lantai dua amat berbeda dengan lantai pertama. Melewati sebuah ruangan dengan pintu tertutup, di sebelah kanannya terdapat ruang keluarga yang tampak hangat serta lebar. Televisi besar bergantung dinding marmer sebagai hiasan di belakangnya. Dalam ruangan itu telah duduk tiga orang di satu sofa panjang. Elena tahu siapa mereka. Ayah, ibu serta seorang perempuan muda  berusia 26 tahun, adik bungsu Kaisar. 

Ibu Kaisar, Devita Jatmika, tersenyum tipis ke arah mereka. Sementara sang kepala keluarga, Rajata Jatmika hanya memasang wajah datar. Berbeda dengan adik perempuan  Kaisar, perempuan dengan gaun krem itu tersenyum lembut padanya.

"Silakan duduk!" Devita memerintah. Lantas Kaisar pun membawa Elena duduk di sampingnya, pada sebuah sofa yang berhadapan dengan tiga orang itu.

"Saya tidak ingin berbasa-basi, mengingat hari menjelang tengah malam. Kami tentu perlu beristirahat. Seharusnya kalian datang tepat waktu," ucap Devita dengan suara lembut akan tetapi Elena dapat merasakan sebuah singgungan yang mengarah padanya. 

Kaisara tak menjawab kalimat sang Ibu. Ia bersikap tenang.

"Elena, benar itu namamu?" Devita bertanya dengan pandangan lurus pada Elena.

"Benar, Bi."

Devita tersenyum mendengar jawaban itu, akan tetapi sudut matanya tak ada lengkungan sama sekali. "Senang kamu memanggil saya Bibi. Kamu cukup tahu diri dalam hal ini."

Bagi Elena memang tidak ada kewajiban untuk memanggil Devita dengan panggilan 'Ibu' atau 'Mama', selayaknya seorang menantu. Bisa dikatakan ini pertemuan ketiganya dengan keluarga Jatmika. Pertama saat acara pertunangan Kaisar dan Clara, pernikahan dan yang saat ini tengah berlangsung. 

Sofa yang Elena duduki terasa sedikit bergoyang kala Kaisar membuat gerakan kecil. Ia menoleh sesaat melihat pria itu mulai buka suara.

"Apa yang ingin Mama sampaikan?"

"Mengenai pernikahan kalian. Bukankah perlu pembahasan lebih lanjut, Kai?" balas Devita.

"Mengenai pernikahan kontrak satu tahun? Aku sudah tahu."

"Bukan hanya itu Kai. Kami hanya ingin menegaskan saja. Pasti Elena juga membutuhkan kepastian tentang masa depan pernikahan kalian. Benar Elena?" 

Sorot mata Devita beralih pada Elena yang sejak tadi menyaksikan dalam diam. Perempuan itu setuju dengan perkataan Devita, ia membutuhkan sebuah kejelasan.

"Benar, Bi." 

Lagi. Senyum tipis berkembang di wajah Devita.

"Dengar, Kai. Kami tidak akan mencampuri urusan pernikahan kalian selama setahun kedepan. Papa dan Mama mu menyerahkan segala keputusan ada pada kamu dan Elena tentang bagaimana kalian menjalani pernikahan. Ingat hanya setahun, setelah itu kalian harus segera bercerai." Rajata memulai pembahasan dengan wajah serius penuh wibawa. Auranya amat mendominasi sebagai kepala keluarga yang disegani.

"Jadi, hanya itu yang mau kalian sampaikan?"

Rajata mendelik usai pertanyaan Kaisar. "Kami sudah mendengar berita besar yang terjadi di lingkungan kantor hari ini."

Devita meletakkan tangannya yang lembut di atas tangan sang suami yang masih gagah di usia 60 tahun. Ia mencoba menenangkan dengan usapan halus. 

"Benar, Kaisar. Maka dari itu kami memutuskan untuk tidak mencampuri urusan pernikahan mu untuk setahun kedepan. Kami paham tentang kebutuhan biologis kalian, walau tanpa ikatan cinta kalian pasti membutuhkan hal tersebut." Devita melanjutkan perkataan sang suami, sadar bila pria yang ia cintai kini mulai emosi karena berita tersebut. Tak berpikir bahwa Kaisar dan Elena akan berbuat demikian. "Akan tetapi, satu hal yang kami minta. Tolong jangan sampai Elena mengandung anakmu!"

Elena tak tersinggung akan hal itu. Justru merasa senang. Keluarga Jatmika jelas tak menginginkannya menjadi menantu, ia pun sama, tak ingin menjadi bagian keluarga itu.

"Baik," balas Kaisar tanpa bantahan. Ia masih tenang, walau ayahnya sedikit kesal.

"Elena!" Panggil Rajata dengan sorot datar.

Elena menoleh dan menatap penuh kesopanan. Seolah sedang menanti pria tua itu untuk kembali bicara.

"Saya harap kamu segera berhenti bekerja di Living With jika tidak ingin ada gosip lagi."

Terdiam. Elena ragu untuk berhenti dari pekerjaan yang sudah ia jalani sejak dua tahun yang lalu. 

"Saya mengerti akan kekhawatiran kamu. Maka dari itu kami akan memberikan biaya bulanan, dan setelah setahun kamu dapat bekerja sebagai manager di salah satu anak perusahaan kami. Bahkan kami akan memberikan rumah pribadi."

Senyum tipis terbit di wajah Elena. Ia tak ingin mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. "Saya pikirkan dulu Paman."

"Saya harap secepatnya kamu mengambil keputusan. Saya tidak mau reputasi perusahaan menurun hanya karena gosip miring."

"Saya mengerti."

"Kalian tidur di sini saja malam ini. Sudah cukup larut," ujar Devita untuk memecahkan keheningan sesaat.

"Kalau begitu kami ke kamar." Kaisar menarik tangan Elena. Tak membiarkan perempuan itu berpamitan kepada keluarganya. 

Mereka turun ke lantai satu dengan tangga yang telah dilewati. Sampai di depan pintu, Kaisar membukanya dan menarik Elena masuk. 

Elena tersentak kala pintu ditutup bersamaan dengan tubuhnya yang di dorong hingga punggungnya menyentuh pintu. Kaisar mendekat dan memberondong dengan sebuah ciuman menuntut.  Pria itu menarik tali tas yang tersampir di bahu kanan hingga terjatuh.

Elena memukul dada Kaisar, ia membutuhkan oksigen untuk bernafas. Bibir Kaisar menjauh, Elena dapat melihat tatapan dengan amarah tertahan di wajah itu. Akan tetapi hanya sementara, selanjutnya Kaisar mengecup leher Elena, menariknya menjauh dari pintu dengan belaian lidah berlanjut. Ia menarik pinggul Elena mendekat dan berjalan ke sebuah meja rias.

"Akh!" Desisan itu terdengar saat Kaisar menaruh Elena di atas meja rias. Ia mengurung perempuan itu dengan kedua tanganya. Tepat di depannya terdapat sebuah cermin. Mata Kaisar tertuju pada sebuah benda kotak berwarna hitam, ujung bibirnya terangkat, dengan cepat membalikan benda tersebut. Kaisar kembali mengecup leher istrinya.

 Kaisar kembali mengecup leher istrinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di Karyakarsa udh sampai part 22. Yg mau mampir buat follow silakan 🫰
Jangan lupa supportnya ya tsay!

Perfect PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang