10. Perfect Pain

128 16 12
                                    

10 Perfect Pain

.

"Revano," lirihnya. 

Elena menajamkan pendengaran ketika menangkap suara rintihan seorang wanita dari bagian dalam ruangan yang tertutup pintu. Ia melangkah pelan, berupaya agar tidak menimbulkan suara. Desahan dari dalam ruangan, yang Elena ketahui sebagai kamar Revano semakin jelas terdengar. Elena kini berdiri di samping sebuah nakas yang terletak tepat di lantai setelah area pintu masuk. Degup jantungnya makin tak terkendali.

"Ahh lebih cepat Revan!"

Elena yang terkejut akan erangan tersebut, tanpa sengaja menjatuhkan vas bunga berbahan keramik hingga pecah membentur lantai. Panik, lantas ia memungut pecahan-pecahan keramik di lantai dengan tangan gemetar. Elena yang sibuk dengan pekerjaannya sontak mengangkat kepala saat mendengar pintu kamar terbuka.

Di depannya, Revano muncul dengan hanya mengenakan celana pendek hitam, tanpa baju. Terlihat sekali, pria itu terburu-buru keluar dari kamar, tak memperdulikan dadanya yang penuh tanda kemerahan.

"Apa yang kamu lakukan?" Pemilik suara bariton itu bertanya dengan muka mengeras.

Elena gelagapan. Bukan hal mengejutkan akan kedatangan Revano, hanya saja ia merasa gugup dan ketakutan.

"Maaf Revan. Aku tidak bermaksud apa-apa?"

Pria itu mendengus, menyugar rambutnya kasar. Sementara Elena mencoba merapikan kekacauan yang ia buat tanpa sengaja.

"Jika ada yang ingin kau sampaikan, cepatlah! Tinggalkan benda itu dan bicara!" Revano berkata tegas, berdiri angkuh tanpa beban di lorong pendek.

Menyapu tangan, Elena berdiri perlahan. Ia masih berada di tempatnya, jika bisa Elena ingin langsung pergi saja. Adegan-adegan menyakitkan timbul di kepalanya, siapa perempuan di dalam kamar itu? Apakah Revano melakukannya karena sakit hati atau memang sudah sering pria itu melakukannya? 

Walau mereka menjalin hubungan cukup lama, Elena tak pernah sekalipun menyerahkan tubuhnya untuk Revano, meski beberapa kali lelaki itu merayu. Selama ini, Revano bersikap bijak dengan keputusan Elena.

Entah bagaimana, Elena tak bisa menyalahkan Revano seutuhnya. Ia pun sudah dimiliki oleh pria lain.

"Aku datang hanya untuk membicarakan hubungan kita," ucap Elena dengan ragu. 

Mata Revano menyimpit, sudut bibirnya tertarik, tersenyum remeh pada wanita di depannya. 

"Kamu masih berharap aku akan bersamamu, begitu?" Kata-kata itu diucapkan dengan penuh percaya diri dan Elena merasa denyut menyakitkan di hatinya.

"Bukan. Aku hanya ingin mengakhiri hubungan kita secara baik-baik. "

Wajah Revano berubah pias. Bukan karena kecewa, tapi malu karena telah bersikap terlalu angkuh. Namun, ia menghela serta menatap rendah untuk menutupi reaksi barusan. 

"Siapa sih yang akan menolak pria seperti Kaisar? Pewaris Living With Group yang tampan dan matang. Perempuan seperti kamu tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas itu, bukan? Selama ini aku pun jenuh dengan hubungan kita. Kamu selalu menolak tidur denganku. Sekarang tampaknya kamu bahkan rela membuka kaki lebar-lebar untuk melayani Kaisar."

Kedua tangan Elena mengepal, rahangnya mengeras. Merasa seolah-olah hatinya diremas keras. Betapa pedasnya kata-kata yang terlontar begitu saja dari bibir Revano tanpa sehelai belas kasihan. Perasaannya terluka mendalam, tidak percaya bahwa orang yang dia cintai bisa menyampaikan kata-kata murahan dan menyakitkan seperti itu. Setiap kata menciptakan luka yang semakin dalam, mengguratkan kesedihan yang tak terlukiskan di wajahnya. Bagaimana mungkin dia, yang telah memberikan segalanya untuk hubungan mereka, sekarang dihina dan direndahkan dengan kata-kata yang begitu kasar? Yang tersisa hanya rasa sakit dan kekecewaan yang menghantui setiap sudut pikirannya.

"Selama ini aku salah menilaimu. Bagus sekali hubungan kita tidak sampai jenjang pernikahan. Menurutmu apa baik menolak permintaan suami ku untuk melayaninya di atas ranjang? Meski aku baru mengenalnya, setidaknya dia lebih baik dari kamu," balas Elena setelah mengumpulkan keberanian. 

Hal itu membuat amarah Revano makin mencuat. Tak terima dengan kalimat yang baru saja Elena lontarkan. "Heh! Kamu pikir Kaisar lebih baik dariku? Kamu belum tahu saja seperti apa dia, Elena. Sekarang nikmati dulu kebahagiaan sesaat mu! Setelah itu, aku jamin kamu akan dibuang oleh keluarga Jatmika. Mereka tidak sudi menjalin hubungan keluarga dengan orang rendahan seperti dirimu."

Elena merasakan getaran kepedihan merambat di setiap serat tubuhnya saat mendengar kata-kata tajam dari Revano. Hatinya terasa seperti dililit rasa takut dan kebingungan. Sebuah luka batin terbuka perlahan. Dia berusaha menahan air mata yang ingin meluncur dari pelupuk mata, mencoba menyembunyikan kelemahan di depan Revano.

Namun, meski hatinya terluka, Elena memilih untuk menunjukkan ketegasan. Dengan suara yang gemetar, dia menjawab, "Mungkin kamu benar, Revano. Aku belum sepenuhnya mengenal Kaisar. Tapi, setidaknya dia memberiku perhatian dan penghargaan yang tidak pernah kudapat darimu. Dia memperlakukanku dengan baik."

Bohong, tentu saja. Tak ada satupun perkataan yang benar tentang Kaisar dari mulut Elena. Akan tetapi, kalimat itu berhasil membuat Revano makin berang.

"Pergilah dari tempatku! Hubungan kita berakhir. Jangan pernah temui aku lagi!"

Tanpa bantahan, Elena berbalik dan keluar dari unit apartemen Revano. Sontak air matanya luruh begitu saja. Kenyataan yang ia ketahui hari ini tak sesuai harapannya. Elena hanya ingin berbicara dengan kepala dingin untuk memutuskan hubungannya dengan Revano. Akan tetapi, ternyata pria itu tak sebaik yang ia ketahui selama ini. 

.

Kaisar Jatmika, pria berusia 33 tahun itu menatap jenuh pada layar laptop di depannya. Secangkir kopi hitam di atas meja kayu serta sebatang rokok di sela jari menemaninya malam itu. Hembusan asap putih keluar dari mulutnya, Kaisar bersandar pada kursi kerja yang mahal dan berkualitas tinggi. 

Sekarang telah menunjukan jam tujuh malam lebih, Elena belum kembali sejak ia berada di rumah sedari jam lima sore. Kaisar sungguh tak peduli, ia bahkan sudah makan lebih dulu. Urusan pribadi Elena, bukan bagian yang harus ia ributkan.

Beberapa pekerjaan yang belum selesai, mau tak mau Kaisar kerjakan di rumah. Kali ini, ia tak berdiam diri di ruang kerja. Kamar utama yang luas menjadi area kerja sementara untuknya. 

Kaisar sempat meregangkan tubuh, melakukan pergerakan kecil hingga saat memutar  leher, pandangannya mengarah pada meja rias, tempat di mana dia meminta Elena untuk mengulum miliknya. Memang bukan meja yang sama, tapi entah mengapa kejadian semalam cukup membekas di kepalanya. Perempuan itu sempat menolak, tapi Kaisar berhasil memaksanya. Menuntun Elena yang polos dan ragu melayaninya sebaik mungkin. Kaisar akui ia brengsek, tapi itu merupakan balas dendam terbaik menurutnya. Ditambah kedua orang tuanya yang kurang kerjaan malah menaruh kamera tersembunyi. Kaisar tahu tujuannya, hanya untuk memastikan gosip yang menyebar di perusahaan itu benar. Sebagai anak yang baik, Kaisar memberi jawaban dengan aksinya.

Pikiran itu buyar saat orang yang menjadi objek pemikirannya hadir membuka pintu. Wajah cantik Elena tampak lelah dan sendu. Tanpa melirik ke arahnya, Elena bergerak tak berucap apapun kala melewati Kaisar menuju kamar mandi. Punggung Elena menghilang di balik dinding pemisah. Kaisar tak mengindahkan lagi, ia kembali bekerja dan membiarkan Elena beraktivitas di sekitar ruangan, bahkan hingga Elena terlelap di atas ranjang. Kaisar masih terpaku dengan pekerjaan. Benar-benar asing, kecuali saat mereka bergelut di atas ranjang.

 Benar-benar asing, kecuali saat mereka bergelut di atas ranjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi-lagi aku telat update jumat kemarin. So sorry guys!
Btw, aku sengaja up 2 bab sekaligus krn bakal pulkam semingguan mulai senin nanti. Dan di sana susah sinyal 🤣
Jdi mingdep aku gk upload apa2 ya.
Tolong votenya dong 🥲

Perfect PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang