09. Perfect Pain

109 16 6
                                    

09 Perfect Pain

.

Tiba di kantor, Elena berjalan di samping Kaisar dengan berat hati. Ia mulai menimbang-nimbang sikap yang harus dipertunjukkan dengan statusnya kini menjadi istri dari CEO perusahaan tempatnya bekerja. Mereka memasuki lift khusus petinggi perusahaan, Kaisar tak bicara dengan tindakkan Elena yang mengikuti langkahnya.

Hanya sebentar Elena berada di dalam satu ruang sempit bersama Kaisar. Ia keluar karena tiba lebih dulu di lantai dua. Wanita itu berjalan lurus ke depan, tak ada sepatah dua patah kata untuk berpisah dengan suaminya. 

Masih seperti kemarin, banyak sorot mata tertuju padanya. Elena akui bahwa menyandang status sebagai istri Kaisar bukanlah hal mudah untuknya. Apalagi orang-orang mencium keanehan dari pernikahan Kiasar yang awal mulanya bersama Clara dan berakhir dengan Elena, sepupu calon istri Kaisar.

"Saya harap kamu segera berhenti bekerja di Living With jika tidak ingin ada gosip lagi."

Percakapannya bersama kedua orang tua Kaisar masih teringat di otak Elena. Permintaan itu ada benarnya juga, baru dua hari Elena menyandang status sebagai istri Kaisar, telah banyak tudingan miring terhadap dirinya. Tapi, bukankah terlalu cepat untuk Elena memutuskan? Mungkin ia masih bisa bertahan sampai semua menjadi terbiasa dengan statusnya sebagai istri Kaisar.

Siang hari telah datang. Hari itu Elena tak mendapat panggilan dari Kaisar lagi, hal cukup melegakan untuknya. Ruangan kerja Elena sepi, rekan kerjanya tampak enggan untuk mengajaknya makan di luar karena peristiwa kemarin. Pada akhirnya Elena memilih untuk memesan makanan secara online melalui sebuah aplikasi.

Wanita itu membuka aplikasi bertukar pesan, melihat nama Revano dengan emoticon hati berwarna merah muda di ujung namanya yang berada di baris keempat. Pesan yang dikirim pada lelaki tersebut bercentang dua, artinya nomornya aktif akan tetapi Revano tak membalas ataupun membaca pesannya.

Elena mengetik puluhan huruf di atas layar, kemudian mengirimkannya pada pria yang hingga hari ini ia cintai. Ia cukup tahu harus dibawa kemana hubungan mereka, tak perlu Elena memaksa. Dari sikap Revano yang abai, Elena tahu mereka harus usai.

Layar ponsel menjadi hitam ketika Elena menekan satu tombol di bagian kanan. Matanya menatap lurus pada layar komputer yang menampilkan sebuah video acara komedi yang biasa ia tonton untuk mengisi waktu luang. Akan tetapi, rupanya cara tersebut tak cukup menghibur jika pikirannya pun sedang kalut begini.

Jantung Elena berdebar kencang kala mendengar dentingan notifikasi dari ponsel. Berpikir bahwa Revano akan membalas pesan, namun tak seperti harapan, kurir makanan yang menghubunginya melalui aplikasi. Makan siangnya telah tiba di lobi.

Helaan nafas penuh kekecewaan keluar dari mulut Elena. Ia beranjak dari kursi kerjanya, melangkah gontai menuju lift. Pintu terbuka dari tempatnya sekarang, ia melihat seorang kurir berbaju kuning menunggu dengan  kantung plastik putih di tangan. Elena mulai menggerakkan kakinya, berjalan ke arah kurir tersebut dan tersenyum ramah kala dekat.

"Terima kasih," ucap Elena setelah mengambil alih makanannya.

"Terima kasih kembali. Selamat menikmati makanan anda," balas kurir tersebut tak kalah ramah. Elena mengangguk dan kurir itu pergi. 

Elena membalikkan tubuhnya, kedua matanya kontan sedikit membesar kala menyaksikan Kaisar bersama dua orang kepercayaannya melangkah lebar. Pria itu melewatinya begitu saja, sempat melirik namun hanya sekilas. Ia pun berusaha bersikap sama, tak peduli dengan beberapa orang yang heran dengan kejadian tersebut.

Cahaya jingga yang pudar meliputi langit, matahari yang hanya menyisakan sedikit terang menjadi pertanda bahwa jam kerja telah selesai hari itu. Elena cukup senang, seharian ini ia bagai orang asing di ruangan yang telah menjadi tempatnya meraih pundi-pundi uang selama tiga kebelakang. Rekan kerja yang awal mulanya begitu akrab dan hangat berubah kaku, berbicara pun hanya tentang diskusi kerja.

Perfect PainWhere stories live. Discover now