18. Perfect Pain

115 14 4
                                    

18 Perfect Pain

.

Devita melemparkan tatapan tajam. Kaisar datang dengan kaos hitam serta celana pendek. Rambutnya yang hitam legam masih setengah basah. Anak tertuanya itu duduk berseberangan, tepat di depannya.

"Mama sudah menunggu hampir satu jam di sini. Kata Bi Murni kamu ada di kamar atas, tapi ternyata kamu malah sedang bersenang-senang dengan wanita itu di belakang," seloroh Devita kesal. Perutnya sampai kelaparan karena menunggu. Tapi, kenyataan yang ia temui rupanya cukup mengejutkan.

"Kalau begitu Mama makan saja dulu!" ujar Kaisar.

"Entah apa yang dilakukan perempuan itu hingga kamu bersikap begini dengan Mama, Kai?"

"Aku bisa bersiap-siap jika Mama mengatakan kedatangan Mama."

Kedua tangan Devita mengepal, ia mencoba meruntuhkan kekesalannya. Berkali-kali menyalahkan Elena atas sikap Kaisar. 

Menghadapi Kaisar tidak perlu emosi yang melambung tinggi. Devita jelas tahu, bahwa seperti apapun kalimat yang ia lontarkan, maka Kaisar akan menjawab dengan tenang.

"Mama kemari untuk mengantarkan undangan perayaan ulang tahun putri keluarga Dinata. Besok lusa, kamu harus datang!"

Dahi Kaisar mengernyit. Ia dapat melihat undangan berwarna ungu muda di atas meja. Dan Kaisar tak suka terhadap seruan Ibunya. 

"Bukan kah sudah ku katakan bahwa tidak perlu ada perjodohan lagi, Ma."

"Kali ini Mama yakin akan berhasil, Kai. Lagi pula perempuan itu tidak akan keberatan jika kamu dijodohkan. Toh, kalian tidak saling mencintai."

"Meski tidak saling mencintai. Setidaknya Mama menghargai pernikahan yang sedang berlangsung. Tidak bisakah menunggu saat kami bercerai?"

Devita menatap tajam Kaisar, rasa kesal semakin menggelora di dalam dadanya. Ia bisa merasakan denyut nadi yang semakin cepat, mencerminkan ketegangan yang sedang melonjak di antara mereka.

"Akhir-akhir ini, kamu selalu saja ingin bertindak sesuai keinginanmu sendiri, Kaisar. Apakah kamu tidak bisa melihat bahwa ini bukan hanya tentangmu?" suaranya terdengar tajam, mengiris udara di ruangan itu.

Kaisar menyipitkan matanya, tanda-tanda ketegangan terlihat jelas pada wajahnya. "Sudah ku katakan, aku tidak ingin terburu-buru dalam hal ini."

"Terburu-buru?" Devita mengejek, "Jangan bilang kamu jatuh cinta pada perempuan itu?"

Kaisar menghela napas, mencoba menahan amarah yang mulai membara di dalam dirinya. "Bukan tentang perasaanku. Tapi, ini tentang pernikahan yang aku jalani. Mama mengatakan hanya setahun, bukan? Aku tidak ingin terlihat brengsek. Belum bercerai tapi mendekati wanita lain."

Devita tertawa cekikikan, namun senyumnya tidak mencapai matanya. "Apa yang kamu pikirkan? Semua orang tahu tujuan pernikahan kalian, Kai."

Kaisar berdiri, tiba-tiba ruangan itu terasa semakin sempit baginya. Ibunya terlalu memaksakan perjodohan konyol lagi. Cukup sekali Kaisar menuruti. "Aku tidak ingin dikekang oleh keinginan Mama. Aku ingin hidup sesuai pilihanku sendiri."

Devita bangkit dari kursinya, langkahnya mantap menghampiri Kaisar. "Pilihanmu? Apakah kamu pikir hidup ini hanya tentangmu, Kaisar? Apakah kau tidak memikirkan harga diri keluarga kita?"

Kaisar menatap ibunya, matanya memancarkan kekerasan yang jarang terlihat. "Harga diri keluarga kita? Ataukah harga diri Mama yang ingin dipertahankan? Mama sendiri yang membuat janji dengan Keluarga Dinata. Jangan libatkan aku!"

Perfect PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang