14. Perpect Pain

136 18 6
                                    

14 Perfect Pain

.

"Nona!" seru seorang wanita tua. Di hadapannya berdiri seorang perempuan cantik dan bertubuh semampai. Gaun berwarna putih gading berpadukan blazer cokelat tua membuat penampilannya tampak anggun serta elegan. 

Perempuan itu tersenyum. "Hai Bibi Murni! Aku kesini ingin mengambil berkas Kak Kai yang tertinggal. Katanya ada di kamar utama." Tisya bercakap ramah membuat wanita tua di depannya senang. Anak bungsu keluarga Jatmika memang memiliki sikap bersahabat pada siapapun.

"Boleh, Nona Tisya. Kamarnya ada di lantai dua." Bibi Murni menuntun Tisya masuk, menaiki undakan tangga hingga sampai di depan pintu.

"Terima kasih. Bibi bisa tinggalkan aku kalau masih sibuk," balas Tisya lagi-lagi dengan senyum ramah dan nada ceria. 

"Baik, Nona Tisya."

Bi Murni turun kembali melalui undakan tangga. Tisya menatap punggung itu hingga tak terlihat lagi olehnya. Lantas ia membuka pintu dan memasuki kamar, tak lupa kembali menutupnya.

Langkah kakinya yang jenjang menelusuri seisi kamar. Mencari benda yang ia harap dapat ditemukan. Membuka lemari, laci demi laci, serta menelisik pada sela-sela rak, Tisya belum menemukan apa yang dicari olehnya. Perempuan itu menghela nafas berat, tempat yang belum ia periksa adalah kamar mandi. Dengan gerakkan cepat ia memasuki kamar mandi utama yang luas, berhiaskan marmer di dinding dan lantai.

Tisya kembali membuka lemari kecil dan laci. Bibirnya menukik, melihat sebuah benda kecil berwarna putih yang bertuliskan sesuatu dengan fungsinya. 

"Dasar kurang ajar! Lihat saja apa yang akan terjadi nanti." Tisya berbicara pada dirinya sendiri. Tersenyum puas dengan apa yang ia lakukan.

.

Elena mendesah lega karena telah menyelesaikan jam kerja hari itu dengan maksimal. Ia sengaja mengerjakan banyak hal sebagai pelarian, tak ingin terlalu berlarut dalam kubang pesakitan. Lagi pula, tak ada yang peduli atas kesedihannya. Daripada bersikap menyedihkan, Elena bersikap seakan ia baik-baik saja.

Wanita dua puluh empat tahun itu memasuki mobil putih miliknya. Menaruh tas ke jok penumpang di bagian kiri. Elena menyalakan mobil, tak langsung berangkat karena berniat memanaskan mesin terlebih dahulu. 

Suara ketukan di kaca bagian kanan membuat Elena menoleh. Dahinya berkerut bingung ketika melihat wajah Kaisar. 

Ada urusan apa pria itu? tanyanya pada diri sendiri. Ia menurunkan kaca.

"Ada apa?" ucap Elena. 

"Buka kunci pintunya! Aku ikut pulang bersamamu."

Tanpa menunggu jawaban darinya, Kaisar memutari bagian depan mobil. Lantas menarik tangani pintu beberapa kali, hingga akhirnya Elena membuka kunci dan menyingkirkan tasnya dari atas kursi, kemudian Kaisar masuk. Badan Kaisar yang jangkung dan besar membuat mobil Elena menjadi terlihat mungil.

"Mobil mu kenapa?" ujar Elena. Aneh sekali pria itu tiba-tiba menumpang dengannya tanpa alasan. Padahal mobil Kaisar jauh lebih nyaman, dibandingkan milik Elena.

"Sedang di bengkel untuk pengecekan berkala, asisten ku yang membawanya." 

"Oh."

Setelah itu, hening. Elena melajukan mobilnya dengan perasaan canggung karena kehadiran Kaisar bersamanya. Dari ujung matanya, Elena dapat melihat kegiatan Kaisar di sampingnya, pria itu tengah mengatur kemiringan kursi, saat mendapat posisi yang pas, ia bersandar dan menutup mata. Tubuhnya aman dari guncangan karena sabuk pengaman.

Perfect PainWhere stories live. Discover now