16. Perfect Pain

99 14 4
                                    

16 Perfect Pain

.

Suasana di warung makan ayam geprek itu bisa dikatakan sangat ramai. Hampir semua meja terisi oleh beberapa pegawai kantoran dan pegawai negeri sipil.

Elena tersenyum kecil saat melihat raut muka Tisya. Ia yakin perempuan itu baru pertama kali mengunjungi tempat makan sederhana seperti ini.

"Kamu tidak keberatan kan?" tanya Elena dengan bibir tersungging.

"Ah, tidak apa-apa, Kakak Ipar. Tapi, ini makanan apa?"

"Kamu belum pernah mencobanya?"

Tisya menggeleng polos. Ia hampir bersin karena aroma sambal yang menyengat hidungnya dan Elena terkekeh.

"Ini namanya ayam geprek, salah satu makanan kesukaan ku. Karena kamu teman ku, maka kamu harus mencobanya. Kamu bisa makan makanan pedas kan?"

"Bisa. Tapi, ini tidak membuat perut mulas kan?" Tisya berbisik di telinga Elena. Takut pembicaraannya akan terdengar oleh pemilik warung dan membuat tersinggung. 

Bukannya apa, hanya saja dulu, saat ia berkuliah, Tisya memiliki seorang teman yang berasal dari keluarga ekonomi biasa. Temannya itu mengajak makan di sebuah warung pecel pinggir jalan, karena penasaran Tisya mencobanya. Dan ya, tiba di rumah, ia mengalami diare. Sampai temannya itu beberapa kali meminta maaf.

"Kamu tenang saja! Makanan disini sangat higienis. Aku sudah sering makan disini," balas Elena yakin. Ia mengapit lengan Tisya, membawanya pada salah satu meja kayu yang kosong pelanggan.

"Kamu mau level berapa?" tanya Elena kala bersiap mencatat pesanan di sebuah kertas kecil yang diberikan pelayan warung.

"Level satu eh dua saja, Kakak Ipar."

Dahi Elena mengernyit, menatap tak yakin dengan perempuan di depannya.

"Kamu benar bisa makanan pedas?"

"Tentu saja, Kakak Ipar. Aku tidak berbohong."

"Oke, aku tulis ya." Elena mencatat pesanan Tisya dan juga miliknya. 

"Minumannya ada es teh, lemon, air mineral dingin dan biasa. Kamu mau yang mana?"

"Es teh, Kakak Ipar."

"Oke."

Elena beranjak dari kursi. Menyerahkan pesanannya pada kasir yang merupakan seorang perempuan muda yang kerap kali ia jumpai kala makan di warung ayam geprek tersebut.

Tisya tersenyum saat Elena kembali duduk di depannya.

"Berapa harga makanannya, Kakak Ipar?"

"Lima belas ribu dan termasuk es teh nya."

Kedua mata Tisya membesar, mulutnya melongo mendengar harga yang disebutkan. Itu lebih murah dibandingkan dengan kopi yang biasanya ia minum sehari-hari. 

"Kakak Ipar serius?"

Elena tertawa, gemas melihat reaksi adik iparnya. Tak menyangka wajah cantik itu dapat berekspresi selucu itu.

"Benar. Coba kamu lihat poster di lemari etalase. Harga-harganya terpampang di sana." Elena menunjuk sebuah poster yang tertempel di etalase yang di dalamnya terdapat banyak ayam goreng tepung. Akan tetapi, Tisya yang malas beranjak untuk memeriksa harga langsung percaya. Ia baru tahu ada makanan semurah itu di dunia ini. 

Terakhir kali, ia makan di warung pinggir jalan, Tisya membayar sebesar dua puluh lima ribu untuk satu porsi pecel lele beserta es teh. Sekarang ia menemukan makanan yang lebih murah.

Perfect PainWhere stories live. Discover now