•10• Drop.

554 40 6
                                    

"Kev, ini beneran? Ini beneran lo?"

Tangan Wildan masih menutupi mulutnya, tak percaya Kevlar yang ada di hadapannya ini adalah Kevlar yang selama ini cuek padanya, ketus padanya, susah digapai olehnya, mengeluarkan pertanyaan yang selama ini ia inginkan. Wildan tentu senang, namun perasaan tak percaya yang mendominasi hatinya sekarang.

Kevlar mengangguk sambil terkekeh pelan. Anak itu menahan tawanya melihat air muka Wildan langsung berubah. "Btw, sekarang bulan apa, Bang?"

Wildan mengerjap, otaknya langsung mengingat. "Bulan April?"

Kevlar tertawa, kedua kakinya ia jatuhkan ke samping brangkar. "Nah, itu. Selamat April mop."

"Kev--"

"Enggak segampang itu, Wildan. Gue cuma bercanda. Kasihan gue lihat muka lo, kayak punya tagihan pinjol."

Wildan menelan ludahnya. Cowok tinggi itu berdiri, menahan tangan Kevlar yang akan pergi dari UKS ini. "Mau ke mana?"

Kevlar menepisnya. "Bukan urusan lo!"

Tubuh Wildan sedikit terbawa mundur, keningnya masih mengerut melihat adiknya itu berjalan keluar dengan langkah yang sedikit sempoyongan. Wildan menghela napas, kembali duduk di kursi seraya memijat pangkal hidungnya. Kevlar benar-benar tak bisa ditebak.

Saat Kevlar sudah sampai ke parkiran, anak itu mengambil tasnya agar langsung pergi ke kelas. Napasnya masih memburu, tubuh lelahnya ia paksakan berjalan lagi melewati koridor yang panjang. Ia berharap saat ini tidak ada guru di kelasnya, Kevlar sangat ingin tertidur sekarang.

Pertanyaan yang tadi ia tanyakan pada Wildan tidak sepenuhnya bohong. Kevlar memang perlahan mulai menerima Wildan dan ibu tirinya itu. Namun, perasaan kesal tampaknya masih bersarang di hatinya. Kevlar sempat bersyukur pertanyaan itu diucapkan pada tanggal 1 April sekarang, dirinya jadi bisa improve untuk mengelak.

Harapan Kevlar agar kelasnya tak ada guru syukurnya benar. Saat ia sampai ke kelas, semua murid di kelas itu tampak asik dengan kesibukannya masing-masing. Sampai-sampai para temannya juga tidak menyadari Kevlar masuk, anak itu langsung duduk di tempatnya dengan kepala yang dijatuhkan ke atas lipatan tangan.

Irsyad yang ada di sebelahnya perlahan menoleh. "Loh, Kevlar? Kamu habis dari mana dulu? Dihukum?"

Tangan Kevlar terangkat menunjuk Irsyad. "Jangan ganggu gue dulu," jawabnya.

Irsyad menghela napas, ia menoleh ke belakang melihat Richard dan Gerald yang masih asik mabar. Bahkan kini, kedua kaki mereka yang terbalut kaos kaki sekolah sudah naik ke atas meja.

"Yah gue kalahhh ... an--" ucapan Richard terhenti saat matanya menangkap Irsyad sedang menatap ke arahnya.

Gerald yang merasa aneh karena umpatan Richard terhenti, langsung tertawa melihat teman sebangkunya itu menyengir kuda sambil menatap tak enak pada Irsyad.

"Ada apa, Syad?" tanya Gerald di sela-sela tawanya.

Irsyad tersenyum tipis. "Kalian udahan mainnya? Tuh, Kevlar udah di kelas, dari tadi 'kan kalian nanyain terus. Coba tanyain kenapa, soalnya sama saya enggak dijawab."

Tawa Gerald terhenti melihat Kevlar tampak tenang tertidur dengan posisi tak nyaman seperti itu. Detik kemudian helaan napas panjang terdengar, Gerald menoleh pada Richard yang juga sedang memperhatikan Kevlar.

"Kemarin beneran Kevlar jawabnya begitu?" tanyanya pada Richard.

Richard mengangguk, ia mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan isi percakapannya dengan Kevlar semalam. Nomor tidak dikenal yang menghubungi Kevlar itu ulah Richard, ia ingin tahu Kevlar akan mendatanginya atau tidak jika diajak seperti itu.

Cacoethes Where stories live. Discover now