•15• Apa harapan itu masih ada?

345 35 0
                                    

"Hahahahaha! Ayah ayo tangkap Kevlar!"

Anak yang baru menginjak usia dua belas tahun itu berlari bebas di lapangan bola yang luas dekat kompleknya, menghindari sang ayah yang berusaha mengejarnya dengan senyum keceriaan yang anak itu sukai. Kakinya yang sudah lelah membuat lajunya lambat, hingga sang ayah pun berhasil menangkapnya.

"Hap! Kena kamu!" ucap sang ayah sambil mengeratkan pelukannya pada Kevlar.

Kevlar akhirnya terduduk, melepas pelan tangan Hendra yang melingkar di tubuhnya. Senyum bahagianya masih terpatri, anak itu lantas berbaring memandang langit biru cerah di siang hari, disusul sang ayah yang kembali memeluknya seperti bantal guling.

Kevlar yang merasa risih, langsung melepaskan lagi tangan Hendra. "Ayah! Berat! Kevlar masih sesak, nih!"

Hendra tertawa, tangannya beralih menopang kepala memandang sang putera. "Mau minum? Ayah mau telepon bunda nih, suruh ke sini bawain minum."

Kevlar menggeleng cepat. "Ayah aja sana yang ngambil. Kasihan bunda dong, kalau ke sini cuma buat nganterin minum."

Hendra mengangguk-nganggukkan kepalanya, lalu menyamakan posisi seperti puteranya yang masih menatap langit biru cerah di atas sana. "Nanti Ayah naro mesin kulkas air mineral di sini aja, gimana? Bisa buat usaha tuh, lumayan kan? Lagian, kok lapangan bola sekeren dan seramai ini malah jauh ke toko, sih? Kasihan anakku yang kalau selesai main bola pengennya minum segalon."

Kevlar langsung menoleh pada Hendra. "Ayah ada-ada aja! Ya tinggal bawa minum aja apa susahnya? Daripada naro mesin kulkas air mineral, yang ada belum sehari udah rusak sama anak-anak komplek sini!"

Hendra hanya tersenyum, tangannya terangkat mengelus puncak kepala Kevlar. "Anak Ayah saking senengnya diajakin ke sini sampai lupa bawa minum ... sehat dan bahagia terus ya, pokoknya. Ayah sama bunda tuh seneng banget kamu tumbuh ceria gini. Inget, kalau ada apa-apa jangan lupa bilang sama Ayah atau bunda, oke?"

Kevlar tersenyum lalu mengangguk. "Oke, Bos! Hmm ... kebetulan ada yang mau aku omongin, nih, Yah."

"Apa, tuh?"

"Kalau Kevlar cita-citanya jadi atlet sepak bola nasional, boleh?"

"Ya boleh, dong! Siapa yang ngelarang? Ayah dukung banget kalau kamu serius mau jadi atlet sepak bola nasional! Ayah pasti bangga banget sama anak Ayah ini!"

Antusias Kevlar memuncak, anak itu langsung duduk menatap sang ayah dengan binarnya. "Beneran, Yah?"

Hendra menyusul duduk dengan senyumnya. "Ya, iya. Siapa yang ngelarang emangnya? Bilang sama ayah!"

"Bunda. Katanya, Kevlar gak bakalan kuat. Imun Kevlar kan lemah, stres dikit mimisan. Gimana kalau nanti latihannya keras atau dihujat sama netizen kalau Kevlar mainnya lagi jelek? Gitu katanya."

Hendra tertawa pelan melihat puteranya mengerucutkan bibir setelah mengatakan itu. "Kevlar, stres enggaknya itu, kan, gimana kitanya. Ayah yakin kamu bakalan kuat. Ayah yakin kamu bakalan berusaha yang terbaik. Ayah juga yakin kamu bisa ngontrol diri kamu sendiri. Stres karena omongan orang itu, ya, tergantung kita ngolahnya, kan? Kita mau nggak nih nerima omongan mereka?"

Hendra tersenyum melihat Kevlar yang masih bingung, ia merangkul punggung putera semata wayangnya itu. "Kevlar, yang namanya manusia, mau sebaik apa pun dia, pasti ada aja yang enggak suka. Kevlar harus bisa nerima itu, Kevlar harus bisa ngontrol diri kalau dihadapkan sama itu. Mana nih, yang sekiranya bagus buat perkembangan diri? Dan mana nih, yang gak banget sama diri sendiri? Buang aja yang itu. Anak Ayah ngerti?"

Kevlar tersenyum, ia menyenderkan kepalanya pada dada bidang sang ayah. "Ayah, Kevlar sayang Ayah."

Hendra tersenyum haru, ia lantas mengecup singkat puncak kepala puteranya. "Ayah juga. Selalu jadi anak yang kuat, oke?"

Cacoethes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang