•11• Irsyad beraksi.

385 31 0
                                    

Adzan Isya yang berkumandang menjadi sapaan pertama kali bagi indera pendengaran Kevlar saat ia membuka mata. Kevlar melirik ke kanan dan kiri, pandangannya terasa gelap. Tangannya langsung tergerak meraba-raba sekitar guna memastikan dirinya sedang berada di atas kasur. Detik kemudian helaan napas lega terdengar, panik yang menyerang membuatnya mengira sudah tidak ada di alam dunia.

Kevlar memfokuskan pandangannya saat suara decitan pintu terdengar bersamaan dengan lampu kamarnya yang menyala. Wildan datang, kakaknya itu mengulas senyum ke arahnya sambil membawa nampan yang di atasnya terdapat semangkuk bubur dan air putih.

"Bangun dari kapan?" Wildan langsung menaruh nampan itu di nakas, lalu dengan sigap membantu Kevlar yang beranjak duduk.

"Jangan sembarangan matiin lampu lagi, gue bukan golongan orang yang lampunya dimatiin pas tidur," ujar Kevlar, tangan yang belum bertenaga banyak itu sedikit menepis bantuan Wildan.

Wildan menelan salivanya seraya tersenyum tipis. "Maaf, gue gak tau. Hmm ... gimana? Udah mendingan? Lo tidur lama banget."

Melihat Kevlar hanya bergeming saja membuat rasa canggung Wildan kembali hadir. Adiknya itu masih terlihat lemas, hanya bersandar pada kepala ranjang dan menatap lurus ke depan sambil sesekali terbatuk kecil. Namun, sorot matanya sudah tidak sayu seperti sebelumnya.

"Ayo makan dulu," ujar Wildan memecahkan keheningan.

Kevlar menoleh menatap bubur yang ada di nakas, seketika gejolak rasa mual di perutnya pun tercipta. Sungguh, Kevlar tidak selera melihatnya, nafsu makannya akhir-akhir ini memang kurang baik.

Wildan meraih mangkuk bubur itu. "Mumpung ayah sama mama belum pulang, nanti setelah makan kita ke klinik, ya?"

"Kalau udah pulang emangnya kenapa?"

Wildan langsung mematung, ia salah berbicara. "Maksudnya--"

"Nanti gue bakal tetap dimarahin, dibandingin, dikata-katain, bahkan ... ditampar? Walaupun gue lagi kayak gini? Gitu kan maksud lo?"

Entah kekuatan dari mana Kevlar langsung beranjak, berjalan menghampiri lemari mengambil kaos dan celana panjang lalu berjalan ke kamar mandi. Cukup lama Kevlar berada di dalam, Wildan juga masih belum berani bersuara walau tungkai jenjangnya sudah berdiri di depan pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat sejak tadi.

"Kunci motor gue mana? Motor gue udah ada di rumah, kan?"

Mata Wildan langsung melebar melihat pintu terbuka, penampilan adiknya itu kini sudah rapi. "Mau ke mana?"

"Mereka 'kan belum pulang. Mumpung belum pulang, gue mau pergi," jawab Kevlar, menekan kata 'mumpung' untuk meledek kakaknya itu.

Wildan menggeleng. "Enggak. Mau pergi ke mana? Gue gak kasih izin."

"Emang lo siapa? Ada gitu, gue minta izin dari lo?" Kevlar terkekeh meremehkan lalu berjalan mengambil jaket dan kunci cadangan motornya.

Wildan kembali membeku, namun ucapan Kevlar yang menyakitkan hatinya seketika sirna saat ia melihat adiknya itu berjalan keluar kamar. Dengan langkah cepat Wildan meraih tangannya untuk menahan.

"Kev, lo lagi sakit. Mau ke mana gue tanya?"

Kevlar melirik tangannya yang dicekal oleh Wildan lalu membalikkan tubuh seraya terkekeh pelan. "Bukan urusan lo. Dan asal lo tau, setiap hari gue selalu ngerasa sakit, bukan cuma hari ini aja. Dan itu karena lo, Wildan."

Untuk kesekian kalinya Wildan dibuat bungkam. Tangannya yang menahan Kevlar tadi sudah memerah, adiknya itu langsung menghempaskannya dengan kencang lalu berlari keluar kamar. Alih-alih merasa kesakitan, Wildan justru merasa senang melihat tenaga Kevlar kembali. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kini hatinya merasa bersalah lagi.

Cacoethes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang