BAB 149: DIA MENGHINDARIKU?

323 19 2
                                    

"Wah, ternyata bisa juga ya kamu jadi sensitif?"

"Ya Prof soalnya bentar lagi tanggal datang bulan jadinya saya sensitif! Ish, udah ah nggak lucu!" sahutku kesal.

Memang siapa yang pikir kalau itu adalah kabar berita yang istimewa untukku?

Itu kabar buruk yang menyedihkan dan sukses membuatku galau!

"Sebetulnya kalau mengingat kamu yang takut jarum suntik, ini memang mengerikan, Amara. Tapi kamu tahu nggak? Kamu bisa menyelamatkan nyawa seseorang! Dan bukankah itu artinya hidupmu berguna?"

Di dalam mobil dengan hati yang sangat sedih itu aku mendengar suara profesorku sebagai nasihat yang seharusnya memang membuatku bangga. Minimal aku merasa harus bersyukur karena bukan Mama atau papaku yang harus menyumbangkan sel punca.

Dan bukan di awal aku juga berharap kalau aku bisa membantu abangku? Supaya dia nggak galau lagi.

Tapi tetap saja aku merasa khawatir ngebayangin tentang aku disuntik. Duh!

"Sakit nggak Prof nanti? Berapa kali suntik?"

"Pasti ya, kalau sakit. Kalau saya bilang sih wajar, tapi kalau kamu takut, kan nanti dikasih obat pereda nyeri setelah operasi. Terus kamu juga masih punya waktu kok buat persiapkan diri. Masih banyak proses yang harus kamu lalui. Mulai dari check up kesehatan terus nanti-"

"Bang Sam tadi juga sudah jelaskan Prof! Jangan diulang Prof, hati saya nyut-nyutan."

"Nah itu! Berarti saya nggak perlu ngejelasin ulang kan?"

Dia bertanya padaku dan jelas aku mengangguk. Sebagai seorang mahasiswi kedokteran prosedurnya juga aku sudah tahu gimana di ruangan operasi. Kan pernah belajar.

"Ya sudah, sabar ya, Amara. Nanti setiap prosesnya saya juga pasti akan nemenin disebelahmu. Kamu nggak sendirian. Kalau kamu takut, kamu bisa pegangan sama saya yang kenceng. Kamu nggak perlu khawatir."

Dan kata-kata itu bagaikan oase di padang pasir untukku!

Sepertinya ini akan jadi sisi positif dari aku yang harus menyumbangkan sel di tubuhku untuk kesehatan anaknya bang Sam.

Baiklah, mari kita berpikir positif. Aku mengangguk dan kini profesorku menarikku ke dalam dekapannya, menyandarkan kepalaku dibahunya.

"Kamu hebat Amara! Saya bangga sama kamu. Meski kamu takut jarum suntik, tapi di awal, kamu mau membantu abangmu, membantu ponakanmu. Itu namanya cinta yang sesungguhnya. Dan itulah ikatan kekeluargaan. Saling membantu dan saling menolong."

Ini menguatkanku sedikit. Setidaknya memberikanku ketenangan karena selama di perjalanan, dia terus mendekapku sampai di apartemen dan kami turun di lobi baru prof Daffin melepaskannya.

Alih-alih mendekapku, dia lebih memilih menggandeng tanganku.

Dan semuanya sama seperti biasa pas sampai di apartemennya dia menyuruhku untuk membersihkan diri dan mandi.

Lalu di saat yang bersamaan dia juga menyiapkan makanan untukku tapi kali ini profesorku tidak memasak sendiri, dia membelinya

Wajar sih pasti dia capek kan?

"Makasih makan malamnya ya Prof! Biar saya aja Prof yang cuci piring. Prof Daffin bisa mandi terus istirahat."

"Boleh juga! Saya juga udah capek dari ngantuk. Tapi masih ada pekerjaan yang mesti di cek."

"Ya udah, saya aja yang cuci priring."

"Tolong ya Amara."

"Siap Prof."

Jodohku Bukan PerjakaWhere stories live. Discover now