BAB 216: DIKERJAIN SENDIRI?

305 39 4
                                    

"Kalina, kamu mau makan apa?"

"Hm ... terserah aja Prof."

"Mana ada nama makanan terserah? Ini pilih! Dan ... Ayo, saya keringkan sekalian rambut kamu sambil kamu lihat-lihat mau makan apa!"

Suasananya canggung sih karena prof Daffin baru keluar dari kamar mandi terus dia langsung ngambil handphonenya yang ada di meja kerjanya terus nyamperin aku bukan cuman ngasih handphone. Tapi juga dia ngangkat badanku. Lagi-lagi ala bridal aku dibawanya keluar kamar.

Bagaimana aku bisa melihat fokus ke handphonenya kalau sekarang pandangan mataku mengarah ke wajahnya? Duh! Habis mandi gini dia jadi kelihatan makin tampan.

"Jangan lihatin saya terus Kalina. Saya tidak bisa dimakan. Pilih mau makan apa di aplikasi itu!" ujarnya sambil mendudukkanku di sofa lalu dia membuka handuk rambutku. Nyindir dan menggodaku saja sih!

"Prof, gak ambil hairdryer-nya?"

"Gak usah. Kamu sepertinya tidak terlalu suka pakai hairdryer jadi saya keringkan pakai handuk saja. Nanti saya ambilkan sisir sekalian saya sisirkan. Nggak usah mikirin rambut kamu. pilih aja makanan yang mau kamu makan."

Segitu dia pedulinya padaku kah sampai masalah hairdryer? Wah, seneng banget aku tuh! Hihi. Tapi jangan GR dulu Kalina! Dia belum jawab aku sebenarnya aku itu siapa menurutnya. Dan aku nggak mau digantung! Lagian seharusnya kami pacaran kan?

"Prof-"

"Apa?"

"Mau tanya Prof, kalau kita nggak pacaran berarti kita ini kayak gimana Prof?"

"Kamu masih mikirin itu?"

Ya iyalah aku masih mikirin. Namanya juga ini hubungan pertamaku dengan seorang laki-laki dan ini udah jauh banget menurutku. Sampai aku menyerahkan diriku padanya. Masa iya aku digantung? Tega amat sih?

"Cuman pengen tau aja Prof supaya saya nggak salah paham nanti."

"Pilih aja dulu mau makan apa. Sebelum terlalu malam! Besokkan saya masih harus ke kampus, ke rumah sakit, dan banyak yang harus saya kerjakan."

"Eh, maaf, Prof."

Nah, apa menjawab begitu saja terlalu sulitkah sampai harus dinanti-nanti?

Dan apakah pekerjaan-pekerjaan itu lebih penting daripada aku? Kok agak sedih ya dapat jawabannya kayak gitu? Tapi aku juga nggak berani sih nanya lagi soalnya kan aku malu!

Jadi ya udah deh terserah dia aja yang penting sekarang aku pilih aja dulu mau makan di mana. Mungkin nanti habis makan dia mau jawab aku?

"Nasi goreng gila aja Prof."

"Kalau gitu saya samakan sama kamu ya. Request, acarnya yang banyak."

"Iya Prof."

Pesanan sudah diorder dan sekarang aku nggak tahu lagi mau ngapain. Diam aja gitu? Atau aku tanya lagi? Tapi nanti kalau aku tanya sekarang apa aku nggak akan dibilang nafsu banget sama dia? Dari tadi aja kayaknya aku udah malu-maluin diriku banget! Duh, gimana ya?

"Kalina, sebentar ya, saya ambilkan sisirnya dulu."

Dan dia tega banget sih! Kenapa nggak mau ngejawab sekarang aja supaya semuanya jadi jelas?

Sepertinya aku memang benar harus bersabar sampai makanan datang dan membiarkannya merapikan rambutku. Karena setelah rambutku sudah disisirkannya, dia malahan mengajakku nonton spongebob. Katanya lucu aja sekalian nunggu waktu makanannya datang.

Tapi yang aku heran kenapa dia nggak milih film drama dewasa atau perang-perangan aja ya?

Tapi biarlah! Aku bingung juga gimana harus meresponnya. Karena sekarang yang ada dia malah memainkan rambutku dengan jari-jarinya sambil menyuruhku bersandar di bahunya tapi aku juga nggak ngerti aku lagi ngapain sama dia kalau aku bukan pacarnya kayak gini-ginian?

"Nah, makanannya datang! Makan dulu yuk!"

Tuh bener kan! Sampai makanan datang pun dia malah ngebahas masalah rasa makanannya. Ish! Habis makan juga dia langsung cuci piring. Apa baiknya aku tanya lagi saja sama dia ya sebenernya aku dianggap apa?

"Kalina, saya sudah selesai. Yuk ke kamar!"

Nah, tetap aja pertanyaanku nggak dijawab tentang siapa aku buat dia. Ih, nyebelin kan?

"Prof-"

"Kalina, besok kamu tunggu aja di sini ya! Nggak usah ke mana-mana dan ini, ada pekerjaan yang harus kamu kerjakan!"

Yah, masa iya aku tanya tentang siapa aku aja nggak dijawab dan dia udah ngasih aku kerjaan? Apa aku masih dianggap sebagai asistennya?

"Iya Prof!"

Tapi nyebelin banget mulutku ini. Kenapa juga aku malah jawab iya? Harusnya aku jangan mau dong! Gimana sih? Tapi, mana berani aku ngelawan.

Apalagi dia sekarang sudah bawa laptopnya yang dulu pernah dikasih ke aku, naik dari sisi sebelah tempat tidur dan duduk di sampingku.

"Ini filenya di sini. Dan kamu nanti baca dari awal ya! Dari pendahuluan sampai ke halaman akhir. Saya baru menyelesaikan sampai sini, baru masuk kesimpulan setengah. Tapi belum selesai sampai ujung. Nanti kalau kamu bisa kamu lanjutkan, lihat datanya dari depan, baca, mungkin kalau ada typo tolong benarkan. Nanti saya pulang, saya cek lagi kerjaan kamu."

Eh tunggu, aku gak konsen! Apa yang ditunjukin sama aku nih? Apa aku nggak salah lihat? Apa sebenarnya ini hanya bagian dari mimpiku saja yang kacau balau karena aku terlalu mencintainya?

Duh, kok aku jadi nervous?

"Kal, kamu kok diam?"

"Eh, enggak Prof, ta-tapi ini ... skripsi saya?"

Aku ragu! Tapi pas tadi dia sudah membuka filenya dan aku lihat tampilan depannya itu namaku! Dan ini memang skripsiku. Dia mengerjakan skripsiku begitu? Dari kapan? Dan bukan menjawab pertanyaanku lagi-lagi dia hanya tersenyum saja sedangkan aku dari tadi sampai nggak bisa berkata-kata. Kebayang enggak sih? Aku nggak tahu sama sekali masalah project yang gak aku ikutin lagi. Tapi dia ... ngerjarin semuanya buat aku dikala aku udah hopeless ga bakalan bisa lulus.

"Hm. Masa skripsi saya? Kalaupun saya lanjut kuliah lagi kayaknya gak mungkin saya ngerjain skripsi. Dan saya nggak akan ada di hadapan kamu sekarang. Ada-ada aja kamu nih."

Tuh kan dia malah melucu begitu. Ish!

"Prof, saya serius."

"Ya iya dari tadi saya juga serius itu skripsi kamu Makanya kamu pelajari betul-betul karena nanti kamu yang harus menjelaskan itu semuanya dan kalau sidang nanti saya tidak mungkin membantu kamu. Jadi kamu harus benar-benar menguasai materi ini. Dan saya rasa saya sudah merangkum semuanya dari pendahuluan sampai ke akhir meski kesimpulannya ini belum selesai tapi semuanya sudah jelas dan saya yakin sekali kamu paham."

"Prof, ta-tapi Kenapa kok Profesor kayak gini? Ngebantuin saya sampai kayak gini? Dan ini dari kapan?"

"Sssh, kamu kalau mau tanya ya tanya aja nggak usah sampai nangis begini," ucapnya sambil menghapus air mata yang keluar dari sudut mataku tapi sebenarnya aku nangis ini karena aku bahagia. Aku senang aja dan aku terharu.

Kupikir dia tidak peduli padaku tapi nyatanya apa? Dia peduli. Dia bantu akademikku diam-diam.

"Soalnya saya bingung Prof."

"Udah, nggak usah bingung-bingung! Lagian saya ngelakuin ini memang atas keinginan saya sendiri karena masa iya sih saya sudah Profesor tapi calon istri saya gak lulus S1? Mana saya lagi dosen pembimbingnya. Kan memalukan, calon istri sendiri gak lulus."

"Eh, a-apa Prof? Calon-"

“Hm, dari tadi kamu nanya sama saya kan saya anggap kamu apa? Ya jelas lah kamu itu calon istri saya. Mana mungkin saya biarin kamu di tempat tidur saya kalau bukan calon istri?”

Jodohku Bukan PerjakaWhere stories live. Discover now