Bagian 5

16.6K 159 0
                                    

Sore ini langit mendung. Aku duduk termenung memandang langit dari jendela kamar kami. Aku sedang menunggu suamiku pulang berkerja. Kehidupan kami bisa dikatakan layak. Yoga bekerja dikantor kepala desa. Namun tidak seiring sejalan dengan semua orang pikirkan. Sudah enam bulan pernikahanku namun dia tidak PERNAH menyentuhku sama sekali. Membuatku mengerti bahwa dia menikah denganku karena terpaksa. Aku masih ingat enam bulan lalu saat malam pertama kami.

“Mina, kamu bisa tidur di tempat itu.” Yoga menunjuk kasur berseprai putih yang ditaburi kelopak mawar merah. “dan aku tidur disini.” Dia menunjukkan kursi sofa panjang disudut kamarnya.

“Kenapa Mas?” Kataku dengan suara bergetar karena sedih.

Dia menunduk menggelengkan kepala dan memejamkan mata.

“Aku tidak bisa. Aku tidak mencintaimu.” Ekspresi tidak suka kepadaku tercermin di wajahnya.

Aku berjalan mendekatinya. Dengan gigi terkatup marah aku menyemburkan makian kepadanya. Sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.

Dia memandangku. Ekpresinya masih sama. Tidak menyukaiku.

 “Aku terpaksa melakukan ini karena aku menghormati orangtuaku.” Desisnya melalui giginya.

Mengingat hal itu aku seperti seorang yang tidak ada gunanya. Dia bersikap mesra hanya didepan orangtua dan keluargaku.

Aku mendengar pintu depan terbuka dan tertutup kembali. Sudah waktunya Yoga pulang. Aku berusaha sebisa mungkin tersenyum padanya.

“Kau sudah pulang?” kataku menyambutnya. Namun seperti biasa, dia tidak menjawabku. “Kau pasti lelah. Kau mau kusiapkan mandi air hangat?”

“Hanya cepat melakukannya!” dia membentakku tepat di depan wajahku.

Jantungku serasa melompat dari tempatnya. Walaupun dia tidak menyukaiku namun dia tidak pernah bertindak seperti ini sebelumnya. Dia hanya melambaikan tangannya mengisyaratkan aku agar cepat pergi untuk menyiapkan apapun untuknya.

“Apa lagi yang kau tunggu? Cepat!” Teriaknya lagi. Kemudian dia berjalan masuk kekamar dengan membanting pintu dibelakangnya.

Aku hanya berdiri terpaku diruang tamu. Sesuatu yang hangat mengalir dipipiku. Buru-buru kuhapus airmata dengan punggung tanganku. Aku ingin berlari sejauh mungkin. Namun aku tidak bisa. Aku tidak mungkin bercerita kepada keluargaku. Aku tidak ingin membebankan penderitaanku kepada mereka.

Setelah semua siap ku ketuk pintu kamar kami. “Mas, airnya sudah siap.”

Tidak ada jawaban. Aku membuka pintu kamar kami dan melihat Yoga tertidur di sofa. Aku berjalan menghampirinya bermaksud untuk membangunkannya. Namun aku terhenti saat melihat wajah damainya. Garis kemarahannya hilang. Yang kulihat adalah ekspresi wajah polos dari Yoga suamiku. Dia hanya begitu manis saat seperti itu.

Kuguncang lembut lengannya. “Mas? Air hangatnya sudah siap. Kau bisa mandi.” Dia masih tidak merespon. Mungkin kelelahan. Aku tidak berani membangunkannya.

“Maafkan aku mas. Aku sudah membuatmu marah.” Bisikku lirih saat menyelimutinya.

****

Sudah satu tahun pernikahan kami dia tidak pernah berubah. Bahkan akhir-akhir ini dia jarang pulang kerumah. Dia hanya beralasan bahwa dia sibuk bekerja. Aku tidak pernah menyesal menikah dengannya. Mungkin inilah takdir yang digariskan tuhan untukku.

“Hari ini aku tidak pulang. Pekerjaan menuntutku untuk lembur.” Ucap Yoga pada saat dia menyelesaikan sarapannya kemudian beranjak pergi.

Setelah Yoga berangkat bekerja, aku pergi kerumah mba Tinah. Masih pukul Sembilan pagi namun aku tidak peduli. Aku sangat merindukan mereka. Sesampainya dirumah mba Tinah. Aku disambut riang tawa keponakanku. Lanjar. Dengan senang hati aku meraupnya dan menggendongnya masuk kedalam rumah.

Cerita Cinta 1: Tentang aku dan diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang