Bagian 6

7.9K 168 1
                                    

Dua bulan sejak perceraianku dengan Yoga, membuatku takut untuk memulai hubungan lagi. Penghianatannya membuatku sedih dan kecewa. Kakak-kakakku menyatakan penyesalan mereka kepadaku karena pilihan mereka salah. Aku tidak akan pernah menyalahkan mereka. Sekali lagi, takdir yang memilihku seperti ini.

“Kau harus berfikir positif Mina. Kau tidak boleh terus larut dalam kesedihan.” Tegur mba Anita saat kami sedang duduk dikamarku pada suatu sore.

“Mba benar.” kataku menatap mba Anita yang kini tersenyum memandangku.

“Aku akan berkunjung kerumah Tini setelah itu aku akan kerumah Ningsih. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.” Kataku seraya beranjak dari dipanku dan berdandan. Memastikan wajahku tidak kuyu.

Saat aku berjalan keluar kamar, mba Anita berteriak “Bersenang-senanglah.”

“Aku akan melakukannya.” kataku tertawa.

Aku menunduk menyusuri jalan menuju rumah Ningsih. Sendirian. Karena Tini tidak ada dirumahnya. Dia sedang pergi ke pasar Godong. Aku mendengar jepretan kamera dan kilatan lampu blitz dari rumah Ningsih dan mendengar tawa riang dari Ningsih. Selalu ceria seperti biasa.

“Hai.” Sapaku kepada Ningsih dan suaminya.

“Oh hai Mina.” Sapa meraka berdua.

“Apa yang kalian lakukan?” tanyaku kepada mereka berdua.

“Aku sedang berusaha memotret istriku yang cantik untuk objek fotoku. Namun sepertinya dia terlalu cantik untuk objek fotoku.” Tukas Andi suaminya dengan diiringi tawa riang Ningsih.

“Aku fikir kau hanya menyindirku karena aku jelek. Iya kan?” tanya Ningsih berpura-pura cemberut namun semenit kemudian dia sudah tertawa lagi. Aku hanya memutar mataku. Bertanya-tanya kapankah dia akan marah.

Kamera berpindah padaku. Dengan sinar lampu blitz yang menyilaukan. Sekejap saja Ningsih sudah berubah jadi pengarah gaya untukku.

“Ayo Mina. Apakah kau tidak tahu kalau kau itu cantik?” seru Ningsih dengan riang.

Aku hanya menatap mereka dengan linglung lengkap.

“Biarkan saja Ning. Ekspresinya dapat. Bagus. Iya. Natural sekali.” Andi memotretku dengan berjongkok-jongkok membuatku tertawa.

 “Kau cocok Mina. Aku yakin kau bisa menjadi Model.” Ningsih menyemangatiku.

“Aku tidak mau. Aku tidak bisa.” Sahutku malas.

“Hey kau bisa. Kau natural.” Andi terdengar seperti Ningsih sekarang. Terlalu senang. Mereka berdua memang cocok.

Aku menggeleng. “Tidak.” Kataku tidak bersemangat.

“Ayolah Mina…” Rayu Ningsih seraya memandangku dengan pandangan memelas.

Setidaknya aku bisa mendapatkan uang dan membuat keluargaku bahagia pikirku. Aku tersenyum dan mengangguk setuju.

“Benarkah?” tanya Ningsih dengan kaget

“Iya benar. Aku serius.” Kataku lagi.

Ningsih senang sekali dan melonjak-lonjak gembira. Memantul naik-turun disofanya. Setelah Ningsih berhenti memantul, Andi melakukan pembicaraan yang serius kepadaku.

“Oke Mina. Kantor tempatku bekerja sedang menugaskanku mencari fotomodel untuk peluncuran majalah fashion terbaru mereka. Dan menurutku kau cocok.” Katanya sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Oke?” kataku lebih seperti bertanya kepadanya

“Aku akan coba untuk merekomendasikan kau kepada bosku kalau dia oke, kau akan kuhubungi lagi melalui Ningsih.” Tegasnya. “Tapi kupikir kau diterima.” Katanya dengan yakin.

“Dimana kantor majalahmu itu?”  Tanyaku padanya. Aku hanya benar-benar penasaran. Aku semakin bersemangat untuk bekerja.

“Kantornya ada di Jakarta. Kau tahu kan Jakarta?” tanyanya padaku dengan ke khawatiran di wajahnya.

Aku tertawa. Tentu aku tahu. “Yah aku pernah mendengarnya. Namun aku belum pernah kesana.” Keinginanku untuk kesana terwujud juga akhirnya.

“Kapan kau akan ke Jakarta mas?” tanya Ningsih penasaran.

“Aku sedang memikirkan bahwa besok aku akan ke Jakarta. Lebih cepat lebih baik.” Tukas Andi penuh semangat. “Aku akan menelponnya sekarang.”

“Aku akan menyiapkan pakaianmu.” Seru Ningsih senang dan beranjak dari sofa untuk menyiapkan pakaian yang akan dibawa Andi besok.

Dengan cepat aku meraih tangannya. Dia berhenti dan menatapku bingung.

“Terima kasih atas bantuanmu Ning. Kalian begitu baik padaku.” Kataku kemudian memeluknya.

“Sama-sama Mina. aku hanya ingin membuat kau bahagia. Kau harus moving on kau tahu?” jawabnya dengan pelan ditelingaku. Aku mengangguk dalam pelukannya.

***

Tiba-tiba Ningsih datang masuk kerumahku dengan cengiran lebar diwajahnya. seperti kucing chasire di kartun Alice in Wonderland. Membuatku dan Tini bertanya-tanya kenapa. Aku dan Tini sedang berbincang-bincang curhat satu sama lain. Ini hari ketiga setelah suami Ningsih pergi ke Jakarta untuk memberitahu bahwa dia menemukan model yang menurutnya natural.

“Kau diterima Mina!!!!” Teriaknya nyaring. Aku dan Tini ikut berteriak senang. Akhirnya aku bisa mendapatkan uang banyak untuk keluargaku. Kami menjerit dan melompat-lompat gembira.

“Selamat ya Mina. Aku ikut senang.” Senyum Tini semakin berkembang. “Kapan kalian akan berangkat?” tanya Tini lagi.

“Kami akan berangkat besok. Baik-baik saja kan Mina?” Tanya Ningsih. Aku tahu kekhawatiran kedua sahabatku ini. mereka takut keluargaku tidak mengizinkanku pergi.

Aku tersenyum memandang mereka berdua. “Oke. Pertama aku akan berbicara dengan keluargaku dahulu.”

Yang mengagetkanku adalah kakak-kakakku mengijinkanku untuk pergi ke Jakarta. Mereka berfikir jika itu yang terbaik untuk aku. Mereka akan merestuinya.

Hari keberangkatanku ke Jakarta telah tiba. Keluargaku mengantarkanku ke stasiun kereta api. Satu persatu kakakku kupeluk. Airmata membasahi pipiku. Mas Paijan menepuk-nepuk kepalaku lembut. “Adik kecilku akan pergi jauh ke Kota. Jaga dirimu ya.” Aku mengangguk dan berjalan masuk kedalam gerbong bersama Ningsih dan Tini. Tini memutuskan untuk pulang ke Jakarta bersama kami. Dia akan melajutkan pekerjaannya juga di Jakarta. Ningsih akan menemaniku.

Dan dengan itu dimulailah awal karirku sebagai foto model. Aku hanya berharap aku bisa melupakan semua kenanganku yang pahit dan aku hanya berfokus pada karirku.

Cerita Cinta 1: Tentang aku dan diaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora