Bagian 10

6K 150 2
                                    

Bunyi bell membangunkanku. Masih jam sebelas siang. Ningsih selalu menggangguku. Dia sudah berjanji tidak ada jadwal apapun hari ini. Aku menguap dan membuka pintu mengantuk.

Dengan memejamkan mata aku bergumam marah. “Ning, kau selalu mengangguku! Tidak bisakah aku libur di hari minggu!”

“Aku bukan Ning.” Suara berat yang familier berbisik ditelingaku.

Mataku secara refleks terbuka lebar. Joko. Wajahnya yang tampan menatapku dengan seringaian lebar.

“Selamat pagi.” Sapanya. “Kau tampak cantik saat bangun tidur.” dia mengeluarkan seikat bunga sedap malam dari balik punggungnya dan menyerahkannya padaku.

“Apa yang membawamu kesini?” Tanyaku saat membuka pintu lebar menyuruhnya masuk.

Dia menghenyakkan diri di sofa. “Aku ingin bertemu denganmu. Tidak bolehkah aku menemuimu?” Tanyanya dengan santai. Aku mendesah dan duduk disampingnya.

 “Kau harus bersiap-siap. Karena aku akan mengajakmu berjalan-jalan.” Ucapnya pelan.

“Oke.” Kataku. Orang ini membuatku merasa bersalah. Dia pasti menyalah artikan kedekatanku padanya.

Kami berjalan-jalan ke dufan. Dia menyerahkanku topi dan kacamata hitam besar. Dengan santai dia hanya berkata bahwa untuk menyamar agar tidak ada orang yang mengenali kita. Aku tertawa atas kekonyolannya.

“Kau tahu, delapan tahun aku berusaha menyibukkan diri agar bisa melupakan kau. Wanita yang aku pikir tidak akan bisa bertemu lagi.” Ucapnya saat kami duduk makan siang. Aku membuatkan kami makan siang sederhana. Seperti piknik kecil.

“Tapi kau sudah bahagia kan sekarang? Kau sudah menikah?” Aku bertanya padanya seriang mungkin sembari mengunyah makan siangku. Aku yakin dia sudah bahagia.

“Aku belum menikah Mina.” Jawabnya.

Rahangku turun. Mengapa dia melakukan itu. Dia mempunyai segalanya. Semua wanita pasti mau menjadi istrinya.

Dia berhenti makan dan menatapku “Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan menikah jika aku bisa menemukan wanita seperti kau. Kalau aku tidak menemukannya, aku tidak akan menikah.”

“Tapi setidaknya kau pernah berpacaran kan?” tanyaku lagi. Tidak mungkin dia tidak berpacaran.

Dia mendesah pelan. “Yah, aku pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita. Namun mereka semua hanyalah memandang uangku. Bukan karena mencintaiku. Aku menyerah dan tidak berusaha mencari wanita lain lagi.”

Dia mengambil tanganku, menatap langsung kedalam mataku. “Kau adalah wanita yang bisa membuat hatiku bergetar saat pertama kali kita bertemu. Wanita yang membuatku memikirkanmu dalam setiap serat kehidupanku. Setelah perpisahan kita delapan tahun lalu, aku akui bahwa aku kembali terpuruk Mina. Kau lepas dari pelukanku. Namun aku sadar bahwa aku tidak bisa seperti itu. Aku menemui ibuku dan mengutarakan mimpi-mimpiku hanya dengan cara itu aku bisa mencarimu dan menunjukkan kepada keluargamu bahwa aku layak untukmu. Sekali lagi Mina selama delapan tahun kita berpisah, aku Mencintaimu. Sangat mencintaimu hingga sekarang.”

Airmata mengalir dipipiku. Dia masih mencintaiku. Tetapi aku tidak bisa. Aku takut menjalani hubungan lagi. Aku takut kejadian seperti Yoga terulang kembali.

Jarinya dengan lembut mengusap airmata dipipiku. Aku menatap Joko yang sedih melihatku.

“Kau tahu, aku selalu benci melihatmu menangis. Maukah kau menceritakannya kepadaku?” tanyanya pelan.

Mungkin ini saatnya aku menceritakan kepadanya. Aku menghela nafas.

“Saat kita berpisah delapan tahun lalu. aku dijodohkan oleh kakakku.” Aku menatapnya. Dia mengangguk mengerti.

Kemudian aku melanjutkan lagi. “Satu tahun kami menikah, dia menghianatiku. Dia berselingkuh tepat didepan mataku. Betapa sakit hatiku melihat dia begitu. Dia menikahiku hanya karena menghormati orangtuanya. Bahkan dia tidak pernah menyentuhku. Dia bahkan manganggapku tidak ada.” Kataku dengan isak tangis yang tidak tertahankan.

Joko memelukku erat. “Laki-laki itu tidak pantas untukmu. Kau terlalu baik untuknya Mina.” Ucapnya dengan marah.

Dia melepaskan pelukannya dan menatap mataku. Keningnya berkerut karena sedih. “Satu pertanyaan untukmu Mina, apakah kau masih mencintainya? Kalau kau mencintanya aku akan mengerti. Tapi aku akan selalu ada untukmu. Tidak peduli apapun.”

Aku mengulurkan tangan mengusap lembut keningnya dengan kedua ibu jariku. Dalam sekejap kerutan dikeningnya menghilang. Dia tenang dan tersenyum padaku.

“Aku akan berkata jujur padamu, aku berusaha mencintainya. Melihatnya bersama wanita lain membuat sakit hatiku. Namun rasaku untuknya hanya rasa pengabdianku kepada suami.” Kataku kemudian menjatuhkan tanganku kepangkuanku.

Dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku “Apa kau masih mencintaiku?” Tanyanya.

Aku menundukkan kepala tidak berani menatap matanya. Sebagai gantinya aku bermain-main dengan jari-jarinya. “Sekali lagi aku jujur padamu, Aku sangat mencintaimu. Cintaku sejak dahulu hanya untukmu. Kau orang yang pertama membuatku jatuh cinta dan tertawa bahagia. Namun sekarang, aku tidak bisa. aku masih takut untuk menjalani hubungan lagi. Aku takut terjadi seperti itu lagi.”

“Hey tatap mataku.” Tuntutnya. Aku mendongak menatap matanya yang masih membuatku selalu tersesat kedalam mata indahnya. “Tidak semua lelaki seperti itu Mina. Hanya lelaki yang bodoh yang menyia-nyiakan wanita baik dan cantik sepertimu. Aku akan selalu menunggumu Mina. Sampai kau siap untuk menjalani hubungan lagi denganku. Aku akan selalu menunggumu. Aku berjanji. Aku mencintaimu Mina. Kalau kau ingin kita berteman saat ini, kita bisa berteman.”

Aku tidak bisa menjawabnya. Aku hanya tersenyum.

“Bisakah kita pulang?” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia mengangguk dan membantuku merapikan piknik makan siang kami.

Sore harinya kami tiba di parkiran apartemenku. Saat dia memarkirkan mobilnya dan akan mengantarku pulang menuju apartemenku, aku mencegahnya. Mengatakan aku bisa pulang sendiri.

“Kau yakin Mina? Tidak mau aku antarkan?” tanyanya lagi untuk kedua kalinya penuh dengan kekhawatiran.

“Aku yakin. Aku sudah tua kau tahu. Aku tidak akan kenapa-kenapa.” Kataku sambil berusaha untuk tertawa menghiburnya.

Dia mendesah menatapku masih khawatir. “Kau harus berhati-hati. Oke. Aku tidak akan membiarkan siapapun untuk melukaimu.”

Aku mengangguk. Membuka pintu mobil dan berjalan menjauh. Tidak perlu menoleh kebelakang lagi. Aku membuka kunci apartemenku masuk kedalam dan menguncinya lagi. Langsung menuju kekamarku. Menjatuhkan diri di tempat tidur. Semuanya menjadi canggung bagiku walaupun dia tidak menyadarinya.

Cerita Cinta 1: Tentang aku dan diaWhere stories live. Discover now