Bagian 11 ~ Menghindar? Bisakah?

6.6K 164 0
                                    

Setelah kejujuranku padanya selanjutnya aku hanya mengutus Ningsih untuk membicarakan lokasi pemotretan, Meeting dan lain-lainnya. Aku berusaha menghindari Joko. Menyibukkan diri selama lima bulan belakangan ini. Aku tidak ingin dia menyalah artikan kedekatanku padanya. Aku hanya datang pada saat pemotretan saja. Kalaupun aku bertemu dengannya, aku hanya tersenyum mengangguk kepadanya dan menghindarinya. Harus ku akui sesungguhnya aku tidak bisa menjauh darinya.  Aku masih tidak mengerti perasaanku untuknya. Walaupun jauh dari dalam hatiku, aku masih mencintainya.

Setelah aku menyelesaikan pemotretanku dikota tua Jakarta, Joko menarik lenganku. Aku bahkan tidak menyadari bahwa Joko datang. Biasanya dia hanya menugaskan orang lain untuk memantau.

“Mina, apa yang kau pikirkan?” Tanyanya kesal pada saat dia menyuruhku masuk ke mobilnya untuk berbicara.

Aku menatapnya bingung. Tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Dia menarik nafas dalam. Memandangku dengan tatapan marah atau sedih aku tidak tahu.

“Sekali lagi aku bertanya padamu, mengapa kau menghindariku Mina? Kalaupun aku mempunyai kesalahan, maafkan aku. Hanya tolong…” Dia tidak menyelesaikan perkataannya. Hanya menarik nafas kesal dan menutup matanya.

“Kau tidak punya kesalahan. Aku yang salah!!.” Teriakku padanya.

“Kau yang salah?!” Tanyanya marah memandangku. “Kau selalu menyalahkan dirimu sendiri Mina!!” Teriaknya frustasi.

Aku tidak mau dia mengharapkanku. Aku tidak mau dia menungguku. Aku menunduk kepala tanpa menatap matanya aku berkata pelan “Aku ingin kau menjauh dariku. Tolong. Aku tidak mencintaimu.”

“Ucapkan sekali lagi Mina.” Tuntutnya pelan. “Ucapkan sekali lagi dengan menatap mataku. Aku tahu kau masih mencintaiku.”

Aku masih tidak menatap matanya. Kualihkan pandanganku keluar jendela. Aku terisak pelan, seakan-akan sesuatu tercekat di tenggorokanku.

Dia menangkup wajahku dengan kedua tangannya. “Tatap mataku dan ucapkan bahwa kau tidak mencintaiku!!” Tuntutnya marah.

“Aku… tidak…. men… cintai… mu.” Ucapku dengan suara terbata-bata.

Dengan berlinang airmata aku membuka pintu mobilnya dan berlari pergi. Memerintahkan Ningsih untuk membawaku pulang.

***

Kujatuhkan diriku disofa saat kami sudah tiba dia apartemenku. Menutup wajahku dengan kedua tanganku. “Aku tidak bisa Ning. Aku tidak bisa.” Bisikku.

“Kau masih mencintainya Mina?” Tanya Ningsih pelan seraya mengusap lembut lenganku. Aku mengangguk.

“Aku sangat mencintainya. Namun aku takut Ning. Aku takut untuk memulai lagi.” Ucapku lirih.

Ningsih mendesah pelan. “Kau tahu Mina, bahwa tidak setiap laki-laki seperti Yoga. Joko sangat mencintaimu. Setiap hari dia sangat mengkhawatirkanmu. Sampai aku bosan mengangkat telepon darinya.”

Aku hanya menggeleng kepala. “Aku tidak tahu.” Jawabku pelan. “Tolong cancel semua jadwalku untuk satu minggu ini. Aku ingin menjernihkan pikiranku.” Pintaku.

“Apapun akan kulakukan agar kau bisa tenang dan bisa mengambil keputusan yang benar.” Ucapnya seraya mencari handphonenya didalam tasnya “Aku akan memberitahu mereka.”

‘Terimakasih. Aku akan beristirahat. Aku lelah.” Jawabku pelan dan pergi meninggalkan Ningsih yang sibuk berbicara ditelepon.

Kurebahkan diriku tempat tidurku. Handphoneku berdering. Joko meneleponku. Kutatap handphoneku ragu-ragu kemudian ku tekan tombol merah. ‘Maafkan aku telah menyakiti hatimu untuk kedua kalinya.’ Bisikku dan mematikan handphone.

****

Puncak selalu menjadi favoritku untuk berlibur. Menghabiskan satu minggu dipuncak sendiri dengan tenang. Menghirup udara segar puncak dengan hamparan kebun teh di setiap mata memandang.

Pagi hari ini adalah minggu terakhir di puncak kuhabiskan dengan minum teh dan menonton TV. Namun wajah Joko muncul dalam sebuah wawancara. Entah iklan atau apapun. Aku mendesah dan mematikan TV. Sebagai gantinya aku membaca beberapa majalah yang disediakan pemilik Villa. Namun lagi-lagi wajahnya muncul disetiap majalah. Entah itu dihalaman depan atau promosi atau hanya kampanye tentang sesuatu. Dia selalu ada dimana-mana. Seolah-olah aku tidak bisa menghindar.

Aku meraih majalah wanita yang baru saja kubeli. Kubuka halaman demi halaman. Terhenti pada halaman yang mengisahkan kehidupan nyata seseorang. Tertegun saat tahu bahwa sedang mengisahkan kehidupan Joko. Mataku terpaku pada tulisan pembuka yang mengatakan : kesuksesanku tidak terlepas dari seorang gadis yang menyentuh hatiku. Gadis yang ku temui sepuluh tahun lalu. Yang menurutku adalah peri yang diturun dari langit untukku. Dia telah membuatku termotivasi untuk menjadi yang lebih baik. Untuk alasan apapun, aku akan selalu mencintainya. Aku akan selalu menunggunya hingga ujung usiaku.

Airmata mengalir dari mataku. Membasahi pipiku. Aku tidak menyangka dia sangat mencintaiku begitu dalam. Aku salah menilainya. Sekarang aku yakin bahwa dia akan mencintaiku. Akan membuatku aman. Tidak akan mengecewakanku. Kuraih kunci mobilku. Ku pacu mobilku menuju orang yang aku yakin, aku mencintainya.

  Siang hari aku tiba diperusahaan Joko. Berlari menuju kantornya. Ku ketuk pelan pintu kantornya yang berada di lantai lima. Ada teriakan marah dari dalam.

“Sudah kukatakan Sinta, aku tidak ingin di ganggu. Cancel semua jadwalku!” suara Joko terdengar frustasi. Aku jadi bersalah membuat dia seperti ini. Pintunya berderit saat kubuka.

Dia sedang menulis sesuatu dikertas. Bergumam marah. “Kau ini sudah kukatakan…” dia mendongak marah kemudian berhenti berkata saat melihatku. “Mina?”

Dia berdiri menatapku. Aku berlari memeluknya. Dia memelukku kembali dengan erat. “Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku sangat mencintaimu. Maafkan atas sikapku waktu itu padamu.” Gumamku dipelukannya.

Dia mencium puncak kepalaku dan menyandarkan pipinya dikepalaku. “Aku akan selalu memaafkanmu. Aku sangat mencintaimu. Kau adalah periku. Aku tidak bisa hidup tanpamu juga.”

Cerita Cinta 1: Tentang aku dan diaWhere stories live. Discover now