YC. 11

68.1K 4.1K 10
                                    

Setibanya di sekolah aku langsung disambut dengan hangat oleh Bu Rani.

Hangat sangat hangat atau lebih tepatnya mungkin panas. Hingga keringat dingin sudah mulai membasahi telapak tangan dan keningku.

Matanya melotot dengan sebuah pengaris kayu panjang di tangannya yang sudah siap untuk menghukum siapapun yang telat, termasuk Aku.

Ya, itulah Bu Rani guru kesiswaan yang sangat ditakuti para murid dan hanya murid-murid yang bermasalahlah yang akan bertemu dengannya. Kali ini aku mendapat kesempatan buruk itu.

Jangan salahkan namanya yang mungkin akan kalian anggap ramah, tapi tidak pada kenyataannya. Jadi Aku sarankan untuk tidak perlu berhadapan dengannya atau mungkin nasib kalian akan sama tragisnya seperti Aku. Ok, sepertinya aku mulai lebay.

"Kesiangan?!" Pertanyaan yang lebih tepat jika disebut pernyataan dari Bu Rani padaku.

"E-eh i-iyah, Bu," jawabku dengan susah payah. Bagaimana tidak melihatnya saja sudah mampu membuatku membeku dan sulit berkata-kata.

Sekarang aku jadi memikirkan nasib anak-anak nakal di sekolah ini yang pasti sudah sering berhadapan dengannya. Apakah mereka baik-baik saja? Tapi sepertinya begitu, toh mereka sudah kebal.

"Masih diam disini?! MASUK!!"

Dengan kecepatan cahaya aku langsung masuk dan bergabung dengan para murid lain yang kesiangan dan memang wajah mereka tidak asing lagi sebenarnya dan mungkin Bu Rani pun sudah sangat hafal dengan mereka.

Dia berjalan mondar-mandir bak setrikaan di depan kami dengan pengaris kayu yang dipukul-pukul berulangkali ke tangannya agar memberikan kesan menakutkan. Padahal tidak perlu seperti itu pun dia sudah menakutkan melebihi hantu-hantu Thailand.

"Bagus yah kalian, hari pertama masuk sudah berani terlambat?!"

"KAMU!! MASUKAN BAJU KAMU, SEKARANG!" perintahnya pada salah satu dari kami.

"Sepertinya saya baru pertama kali melihat kamu? Siapa nama kamu?" tanyanya dan langsung membuatku tercekat.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ahh, ini semua karena si Rabies.

"I-yah, Bu, na-nama saya Nayla, Bu," jawabku dengan tergagap.

"Kelas?"

"11 IPA-1, Bu."

Bu Rani pun berlalu meninggalkan ku yang kini tengah membuang nafas lega. Syukurlah.

"Push up seratus kali. SEKARANG!!"

Belum lama aku mengucap syukur, tiba-tiba Bu Rani malah menyuruh kami untuk push up seratus kali, tapi itu sih tidak begitu sulit untukku, toh setiap latihan karate pun aku selalu melakukan setengahnya.

1, 2, 3, 4, ..., 100.

"Akhirnya selesai juga," batinku.

Kulihat semua yang tadi bersamaku sudah terkapar kelelahan, termasuk aku.

Ternyata melelahkan juga dan semoga ini segera berakhir dan aku dapat kembali ke kelasku.

"Capek?!" tanya Bu Rani yang langsung dijawab 'Ya' dengan serempak oleh kami.

"Ini belum selesai, sekarang kalian ambil alat kebersihan di gudang dan bersihkan toilet. SEKARANG!!"

Aku yang masih diambang ngos-ngosan langsung melotot mendengar ucapan Bu Rani barusan.

"Bersihin toilet, Bu?" tanya salah satu dari kami yang aku ketahui bernama Angga.

"Apa Ibu kurang jelas? Sekarang atau hukuman kalian Ibu tambah?!" ancamnya dan langsung membuatku berlari menuju gudang.

Seumur-umur baru kali ini aku kesiangan dan dihukum seperti ini.

Setelah berhasil menemukan barang yang aku cari aku segera menuju tempat tujuanku. Toilet.

Brukk...

Semua barang yang aku bawa jatuh tersebar di lantai karena tak sengaja menabrak seseorang di depanku.

Ceroboh!

"Maaf maaf," kataku seraya mengambil ember, so clean, pel-an dan gayung.

Orang yang baru saja kutabrak tadi kini tangannya terjulur membantuku merapikannya.

"Thanks," kataku setelah semuanya sudah kembali berada di tanganku dengan selamat sentosa?

Aku menengadah 'kan  kepalaku melihat siapa pemilik dari tubuh tinggi yang tadi tak sengaja ku tabrak dan ternyata...

"Senpai?"

"Ehh... maaf tadi gak sengaja dan makasih udah dibantu," ucapku senormal mungkin agar tidak terdengar gugup. Entah kenapa aku kembali gugup berhadapan dengannya.

"Gpp kok. Jangan panggil senpai, Kakak aja," ujarnya dengan senyuman manis yang terukir di bibirnya.

"I-yah Kak, kalo gitu saya duluan yah Kak, takut dimarahin Bu Rani," kataku dan berlalu meninggalkannya. Mungkin sekarang dia sedang keheranan karena aku menyebutkan Bu Rani yang itu artinya Aku sedang dihukum.

Belum lama aku di sini untuk membersihkan toilet, tiba-tiba Bu Rani datang bersama Kak Arsen? Untuk apa?

"Nayla?" tanyanya. Namun, kali ini terdengar berbeda dari sebelumnya. Lembut.

"Ehh... iyah, Bu."

"Hukuman kamu ibu cukupkan sampai di sini, karena Arsen bilang kalian harus latihan untuk perlombaan."

Serius? Apa aku salah dengar sekarang? Ahh, sepertinya tidak, jelas-jelas aku mendengarnya secara langsung dan Kak Arsen kini sedang tersenyum ke arahku dan menganggukan kepalanya pelan seperti menjawab apa yang sedang aku pikirkan.

"Terima kasih, Bu," kataku seraya mencium punggung tangannya.

"Jangan telat lagi," Pesannya sebelum akhirnya melangkah pergi meninggkan kami berdua.

Aku melirik ke arah Kak Arsen dan tersenyum penuh terima kasih padanya. Bersyukurlah aku telah mengenal orang sebaik dirinya. Love you Kak :* Abaikan.

"Gak usah bilang makasih lagi," katanya yang membuatku tersenyum geli.

"Tau aja sih Kak kalo aku mau bilang makasih."

"Saya udah tau kamu tuh paling gak bisa dijauhin sama kata 'Terima Kasih' dan ' Maaf'," ucapnya diselinggi kekehan.

"Emang bener yah kak mau ada perlombaan?" tanyaku bingung.

"Sebenernya enggak sih. Ya, tadi saya liat kamu kayanya udah lemes banget, ya udah saya buatin kamu surat dispen deh," jawab Kak Arsen dengan tanpa dosanya dan itu sungguh mengemaskan.

Satu yang baru ku ketahui dari Kak Arsen ternyata dia pintar mencari alasan atau kasarnya berbohong. Hehe...

¤¤¤
Young Couple

Young Couple [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang