15

790K 46K 2K
                                    

__

Setelah menghabiskan waktu di pinggir jalan dan terus-terusan merengek pada laki-laki di sampingku saat ini, akhirnya aku tiba di depan rumah dengan selamat. Tetapi, yang membuatku takut adalah kemarahan Papa. Aku tidak pernah menduga Papa membiarkanku dibawa oleh orang yang bahkan belum Papa kenal baik. Apalagi sekarang sudah pukul sepuluh malam, waktu di mana pagar sudah ditutup dan semua lampu dimatikan di dalam rumah yang sudah kuhuni sejak ku kecil.

"Lo mau turun atau gue bawa ke rumah gue?"

Eh.

Aku terbangun dari lamunan. Pertanyaannya masih samar-samar di pikiranku. Kutatap matanya yang lurus-lurus menatapku. Aku mendengus sebal.

"Makasih untuk malam ini." Aku bahkan belum menjawab pertanyaannya, tetapi dia langsung berkata lagi. Dan berucap... terima kasih? Aku mengerutkan kening. Sebegitunya kah seorang Agam berterima kasih hanya karena aku menemaninya keluar untuk memakan beberapa jagung bakar?

Okey, itu tidak salah.

"Ya, terserah lo lah," balasku. Aku segera keluar dari mobil lalu tiba-tiba pergerakanku berhenti. Ada yang mencekal tanganku dan sudah pasti itu Agam.

Aku menghela napas. Kucoba meredam kegugupanku yang tiba-tiba menelusup. "Ke—kenapa lagi?"

Ya ampun... Aku sudah gugup ternyata.

Dia melepaskan cekalannya, lalu kulihat dia bersandar di kursi kemudi. Dia mengusap rambutnya ke belakang dan pandangannya lurus ke depan sana. "Enggak."

"Hah?" Aku mengerutkan keningku. Bingung. "Terus yang tad—"

"Daripada lo banyak nanya, mending lo masuk!" serunya cepat. Aku mencibir pelan.

"Ya udah." Aku tidak menyangka ternyata aku berteriak. Biar. Aku tidak peduli dengan ekspresinya. Aku tidak peduli dengan apa pun yang berhubungan tentangnya.

Aku tidak peduli.

Kubanting pintu mobilnya dengan keras, hingga terdengar benturan tak biasa. Aku yakin, dia marah di dalam sana.

"Cewek PMS beneran gini ya responnya?"

Aku berhenti berjalan. Kubalik badanku untuk menatapnya. Dia sedang menggeleng-geleng di sana. "Lo itu misterius! Aneh! Dan nggak bisa ditebak!" teriakku kesal. Dia hanya terkekeh. Sialan.

"Gue masuk," kataku saat aku berbalik. Aku membuka pagar dan berlari kecil menuju pintu rumah. Belum ada tanda-tanda bunyi kendaraan mobil, itu artinya Agam masih di sana.

Ck.

Aku membuka pintu rumah yang ternyata tidak tekunci. Barulah kudengar suara mobil di luar sana. Agam ternyata menungguku sampai aku masuk ke dalam rumah, sebelum dia benar-benar meninggalkan daerah ini.

Aku tersenyum tipis. Jangan tanyakan mengapa, baru kali ini aku dekat dengan seorang cowok. Tapi, aku tidak akan selebay cewek-cewek yang baru dilanda cinta karena aku sudah tahu baik buruknya lewat menjadi stalker.

Tunggu!

Barusan aku mengatakan apa? Aku menghela napas, seolah-olah perkataanku itu menunjukkan bahwa aku juga sedang dilanda cinta.

"Baru pulang?"

Aku menoleh dan mendapati Papa sedang duduk di sofa. "Iya, Pa," jawabku. Aku tidak sadar Papa sedang menonton. Kulirik sekali jam di dinding, sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, Papa pasti mau begadang. Kebiasaannya jika menonton siaran favoritnya.

Sepak bola.

Terkadang aku berpikir, apa menariknya dari hanya sekadar duduk di kursi atau sofa sambil memerhatikan orang-orang yang ada di layar sedang berebutan bola dengan menggunakan kaki? Tetapi, pemikiran itu tidak boleh asal-asalan, sebelum seseorang melakukannya langsung. Dan yap, setelah aku mencoba ikut menonton bola lewat siaran televisi, sampai sekarang aku menjadi kecanduan.

"Kenapa lama?" tanya Papa lagi. Aku cemberut lalu duduk di samping Papa, kusandarkan kepalaku di bahunya, aku memejamkan mata untuk meresapi perasaan nyaman yang selalu kurasakan, setiap kali aku dalam posisi seperti ini.

"Tahu tuh, si Agam yang mau lama-lama," aku merajuk. Papa terkekeh, kepalaku ikut terguncang hingga aku menegakkan badanku dan menatapnya.

"Papa kok ketawa, sih?"

Papa mengambil remote di atas meja dan mengundur suara dari iklan di televisi. Papa menatapku dengan pandangan yang tak bisa kutebak. "Papa yang nyuruh dia lama-lama."

Aku melotot kaget. "Papa kok gitu sih?" Aku cemberut. Rasanya, aku adalah gadis remaja yang manja di depan Papa.

"Papa cuma mau lihat, dia itu beneran anak baik-baik atau nggak."

"Maksud Papa?"

Papa menghela napas. "Yang jelasnya, Agam itu anak baik-baik. Jadi, kalau misalkan ada kelakuan dia yang nggak baik, itu artinya dia sedang khilaf."

Pikiranku tiba-tiba tertuju pada Agam yang sedang merokok. Ish. Membayangkan bagaimana Agam menghisap dalam-dalam rokoknya membuatku merinding.

"Tegur dia aja," lanjut Papa lagi.

Aku mengedikkan bahu. Kuambil bantal sofa di dekatku, lalu aku berbaring dengan bantal sofa sebagai penumpu kepala. "Pa?" panggilku. Pandanganku ke atas, pada langit-langit ruang tengah.

"Hem?" Papa bergumam pelan. Aku melihatnya yang tengah fokus menatap ke depan.

"Kangen Mama...," kataku pelan. Kulirik lagi Papa yang sibuk menatap siaran televisi. Papa hanya diam. Tangannya yang bergerak mengusap rambutku hingga mataku terpejam meresapi.

Aku meringis dengan kesendirian Papa selama ini. Bahkan aku pernah bilang, kalau Papa mau cari pengganti Mama, silahkan. Tetapi sampai sekarang, aku tidak pernah melihat atau mendengar kabar bahwa dia dekat dengan perempuan lain. Dia benar-benar sibuk dengan pekerjaannya.

Yang menjadi dongeng sebelum tidurku sejak kecil adalah ketika Papa bercerita tentang awal kedekatannya dengan Mama sejak SMA, lalu menikah disaat mereka baru saja menginjak semester 3 di bangku perkuliahan. Aku terlahir di dunia setahun setelah pernikahan mereka. Yang aku dengar dari cerita Papa, Papa sangat mencintai Mama, begitu sebaliknya.

Tetapi, takdir berkata lain. Aku yang saat itu baru saja berusia lima tahun, menatap seserang yang berbaring di tengah-tengah keramaian orang-orang yang mengelilinginya di ruangan ini. Mama telah pergi, meninggalkan anaknya yang masih balita dan suami yang sangat mencintainya.

Aku menangis dalam diam, hanya segelintir yang kuingat tentang kebersamaanku dengan Mama. Seandainya Mama masih ada, dia pasti sudah mengajarkanku tentang cara memasak sayur, menggoreng daging, atau membuat kue.

Aku dan Papa menyayanginya, tetapi Tuhan lebih menyayanginya. Dia, mamaku. Yang sedang menunggu di alam sana, menunggu kedatanganku dengan Papa.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

True StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang