22

757K 44.5K 2.5K
                                    

__

Tujuanku sekarang adalah menuju ruang guru. Lagi-lagi aku yang disuruh oleh Bu Sri mengantarkan perlengkapan mengajarnya ke ruang guru. Terkadang aku kesal, ada lima laki-laki berseragam sama denganku di kelas, lalu kenapa bukan salah satu di antara mereka saja yang dia suruh? Atau ketua kelas.

Mungkin ini risiko karena mejaku berhadapan langsung dengan guru. Setiap guru menjelaskan, mata mereka lebih sering melihat ke arahku. Dan setiap mendengar penjelasan dari materinya, aku selalu memgangguk paham. Walaupun sebagian materi mereka tidak kumengerti. Entah karena pikiranku berkelana atau kelopak mataku yang benar-benar berat karena mengantuk.

Aku menyimpan tas, air botol mineral, beserta buku paket ke atas meja Bu Sri. Akhirnya selesai juga, aku sepertinya langsung ke kantin menemui Lia, Saphira, dan Alya untuk makan bersama.

Jangan tanyakan mereka ke mana saat aku membawa semua barang-barang Bu Sri sendiri ke ruang guru, karena mereka itu tipe-tipe siswi pemalas. Malas jalan. Padahal kalau sudah membahas mall, mereka bercerita panjang lebar tentang pengalaman mereka berkeliling dari lantai bawah sampai lantai atas.

Dasar memang.

Mulai kulangkahkan kakiku menuju pintu keluar, tetapi seorang guru yang kutahu bernama Pak Adi berjalan dengan tergesa. Aku meminggirkan tubuhku di ambang pintu yang luasnya lebih dari semeter itu.

"Eh, kamu ke sini dulu!"

Aku mendongak dan melihat Pak Adi menatap ke arahku di bangkunya. Mungkin bukan aku. Kutengok ke belakang, tetapi tidak ada siswa, hanya aku siswa di ruang guru ini.

"Kamu sini!" Jemari Pak Adi bergerak memanggilku. Telunjukku refleks menunjuk diriku sendiri.

"Saya, Pak?"

"Iya, kamu. Siapa lagi?"

Huh. Sejujurnya aku paling menghindari guru jika dalam keadaan ini. Aku takut salah jika mereka mengamanahkan sesuatu padaku. Seperti saat aku masih kelas IX SMP, seorang pengurus perpustakaan meminta tolong padaku untuk membelikannya bakso. Saat aku membawa pesanannya ke perpustakaan, di tengah perjalanan kakiku tersandung hingga mangkok beserta isinya itu sudah berada di atas tanah. Dan aku benci mengingat hal itu. Memalukan.

"Kenapa, Pak?" Aku berdiri di depan meja Pak Adi. Pak Adi adalah pembina OSIS di sekolah ini, aku tidak tahu dia mengajar pelajaran apa.

"Kamu kenal Agam,'kan?"

Perasaanku menjadi tidak enak saat mendengar nama itu. "Iya, Pak."

"Tolong kamu ke kelasnya, suruh dia ketemu sama saya di kantor. Dari tadi dia tidak angkat telepon dari saya."

Tidak adakah orang lain yang bisa kutemui selain dia? Aku benar-benar malas bertemu dengan dia.

Aku mengangguk mengiyakan. "Baik, Pak. Saya ke kelasnya dulu."

Pak Adi menganggukkan kepalanya. Dia juga ikut berdiri, sepertinya dia mau ke kantor karena dia dan Agam akan bertemu di sana.

Harusnya tadi Pak Adi memberitahukanku kelas Agam di mana. Tapi, karena aku sudah tahu akhirnya aku biasa saja berjalan di koridor kelas duabelas.

Ralat!

Aku sedang tidak biasa-biasa saja sekarang.

Berjalan di koridor kelas duabelas seperti berjalan di daerah sepi pada malam hari. Seperti ada yang mengawasi, mencekam, walaupun bedanya hanya suasana di koridor ini yang ramai.

Okey, tidak selebay itu. Tetapi, aku bisa merasakan beberapa kakak kelas menatapku terang-terangan.

Apa jadinya jika aku tiba di kelas XII IPA 1 dan mencari-cari Agam?

True StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang