17

736K 41.9K 1K
                                    


__

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

__

Aku membanting pintu kelas. Semua mata memandangku heran. Aku tak peduli. Sekarang mauku adalah putus dengan Agam.

Kenapa aku berpikiran seperti itu? Sejak aku tiba di sekolah, upacara, hingga aku berjalan di koridor melewati kelas-kelas, semua pasang mata memandangku. Bahkan kudengar omongan mereka yang membuat telingaku seperti terbakar.

"Ah, Kak Agatha lebih cantik."

"Cantikan Kak Agatha."

"Dia mah pendek."

Aku memberenggut. Iya, aku pendek. Aku tidak cantik. Tapi mereka tidak bisa menghargaiku sebagai makhluk ciptaan Tuhan juga?

"Lo kenapa sih, kayak ada masalah gitu." Kudengar suara gesekan antara bangku dan lantai, Lia sepertinya sudah tiba di kelas.

"Iya, ada masalah. Banyak!" Aku menekankan setiap kataku. "Kenapa sih, orang-orang pada suka ngebedain orang yang satu dengan orang yang lain?" Aku memutar bola mataku. "Kata-kata gue kayak berbelat-belit gitu. Kayak hidup gue."

Lia tertawa. "Maklum, manusia. Cobaan mah ada terus," jawab Lia.

"Sok bijak lo," kataku pelan.

Suara pintu diketuk membuat perhatianku beralih ke pintu kelas. Seseorang dengan almamater merahnya berdiri di sana lalu mengucapkan salam. Aku memiringkan kepalaku, ada orang lain selain siswa beralmamater itu.

Seorang siswa beralmamater juga. Aku terkejut saat melihat siswa itu ternyata Agam. Dia sepertinya ada urusan hingga ke kelas-kelas orang.

Dari sana, Agam menatapku terus. Aku sudah tidak menghiraukan pembicara di depanku lagi karena fokusku pada Agam. Dia yang tadinya hanya berdiri di ambang pintu, kini berjalan dan terus menatapku.

Ini tidak beres.

"Lo ikut gue!"

Hah

"G—gue?" Aku menunjuk diriku sendiri. Sekarang, Agam beridiri di depan mejaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-teman sekelasku saat mendengar Agam berkata seperti itu. Di depanku.

"Siapa lagi?" Dia menaikkan sebelah alisnya. "Masa tembok."

Aku meneguk ludah. Pelan, aku berdiri dari dudukku. "Kita ke mana?" tanyaku saat dia mulai berjalan. Seperti biasa, dia tidak menjawab pertanyaanku. Menyebalkan!

"Kita mau ke mana sih? Duh." Aku tertabrak punggungnya.

Agam berbalik hingga menghadapku. Tampangnya sedikit kesal, dia menatapku sambil berdecak. "Lo dipanggil sama Bu Sri, katanya ada berkas yang hilang waktu lo pingsan."

Astaga. Bahkan aku lupa dengan kumpulan kertas itu. Aku tidak banyak berkata lagi dan mengikuti Agam dari belakang.

Oh iya, aku tiba-tiba teringat dengan foto itu. Kalau aku bertanya tentang foto Agam dengan Kak Agatha, Agam kira-kira marah tidak ya?"

Aku dilema. Penasaran juga dengan kedekatan mereka. Apalagi waktu itu, aku melihat Agam keluar dari ruang OSIS, dan Kak Agatha hanya sendiri di dalam ruangan itu setelah Agam pergi.

Aku jadi curiga.

"Kak?" panggilku sambil mensejajarkan langkah kami. Dia hanya bergumam pelan. "Kenapa sih, kita harus jalanin hubungan pura-pura ini?"

Agam berhenti. Aku ikut berhenti. Dia menatapku heran dan kembali melanjtkan perjalanannya. "Jadi lo nganggap hubungan ini cuma pura-pura?"

"Eng—" Aku menggaruk tengkukku. "Gue capek jadi bahan gosip mulu," kataku jujur. Dari hati.

Dia mendengus. "Nggak usah dengerin mereka."

Ish. Aku berdecak kesal. "Iya, lo biasa aja dengan ini, nah gue harus nerima gosip-gosip jelek tentang diri gue sendiri. Bahkan gue dibilangin cewek murahan."

"Jangan dengerin lah, yang murahan itu mereka. Bukan elo," katanya enteng. Aku tidak membalas apa-apa lagi setelahnya. Barulah ketika aku dan dia tiba di depan pintu ruang guru, dia berhenti sambil menatapku. "Sampai di sini aja, gue banyak urusan."

Dan tanda tanya besar hinggap di benakku. Jadi, cowok itu mengantarku ke sini?

So sweet banget kelihatannya. Aku tidak perlu lagi membayangkan seorang pangeran berkuda putih yang mendatangi sang Puteri tapi... aku menggeleng-geleng.

Pokoknya, aku harus membuang kata 'baper' setiap kali ada di dekatnya.

"Ibu cari saya?" tanyaku saat tiba di samping meja Bu Sri. Dia mengangguk sambil membongkar kertas-kertas yang sudah berserakan di atas meja.

"Itu, ada satu berkas siswa kelas IPS yang hilang. Waktu itu 'kan katanya kamu pingsan, siapa saja yang ada di lokasi? Siapa tahu salah satu di antara mereka ada yang ambil." Bu Sri kelihatannya panik. Aku jadi iba.

"Memangnya nama berkas siswa yang hilang itu siapa Bu?" tanyaku, siapa tahu ini ada hubungannya dengan siswa yang dipukuli sama Ghali waktu itu.

Bu Sri berhenti mencari. Dia menatapku sebentar. "Radhika Ghali. Dia siswa IPS kelas duabelas."

Dan perasaanku menjadi tidak enak sekarang.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

True StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang