20

699K 42.3K 768
                                    

__

Sebuah mobil berhenti di sampingku. Aku meliriknya sesaat, sudah kutahu siapa pelakunya.

Tak kuhiraukan, aku berjalan dengan cepat hingga tiba di gerbang sekolah.

Aku marah?

Entahlah. Aku tidak mau memikirkan itu, tetapi kenapa aku seperti cewek yang sedang cemburu melihat cowok yang ditaksirnya dekat dengan cewek lain?

"Diba!"

Aku menghela napas. Agam sekarang berdiri di depanku. Menghalangi jalanku.

"Lo kenapa?" tanyanya. Aku menggeleng pelan. "Pulang!"

Aku meliriknya sekilas. Pandangannya tak bisa kuartikan. Dia menghembuskan napas pelan. Dan sedetik kemudian, dia sudah menarik tanganku dan membawaku menuju mobilnya. Aku hanya mengikut dan memilih untuk diam.

"Lo marah?" tanyanya. Aku memilih untuk menatap pemandangan di luar sana. Menjawab pertanyaannya membuatku tidak mood sepertinya. Kudengar dia berkata lagi, "Lo cemburu?"
 
"Hah?" Aku refleks menoleh. Dia menatapku sekilas lalu menggelengkan kepalanya. Aku mencibir pelan. "Sebenarnya hubungan lo dengan Kak Agatha apa sih, Kak?"

"Ada," jawabnya singkat. Ada? Kata itu belum menjawab pertanyaanku.

"Pastilah ada. Jelas-jelas lo deket sama dia." Sepertinya, aku terdengar marah.

"Gitu?"

Kulirik dia yang tersenyum tipis.

"Kita bareng di OSIS selama setahun ini. Gue dan dia juga udah temenan sejak kelas sepuluh. Kita berdua sekelas terus."

Ish. Kenapa rasanya aku cemburu? Aku menatap Agam. "Nggak mungkinkan lo nggak ada perasaan sama dia?"

Agam menaikkan alisnya. Matanya masih tetap fokus ke jalan. "Mungkin iya, mungkin juga enggak."

"Berapa persen?"

"Lima puluh, lima puluh," jawab Agam cepat.

Aku kembali menatap keluar jendela. Kenapa rasanya aku panas? Tanganku refleks meremas ujung bajuku dengan gemas.

Mungkin ini yang namanya cemburu. Dan jika memang yang kurasakan ini adalah cemburu, berarti aku ... suka sama dia?

Aku menghela napas berat. Beberapa rumah yang kami lewati terasa lama kupandangi. Keningku berkerut samar. Kulihat Agam meminggirkan mobil lalu mematikan mesinnya.

Agam menatapku. Senyumnya mengembang sempurna. "Lo cemburu?"

"Enggaklah, ngapain," jawabku. Aku tidak ingin bertatapan dengan dia, lagi.

"Tapi dari gerak-gerik lo, udah ketebak kalau lo cemburu."

Aku tahu. Tapi, keadaan yang memaksaku untuk menyangkal.

"Ya udah, gue tahu lo gimana. Lo diem, berarti lo jawab 'iya'."

Memang, diamku adalah membenarkan pernyataannya.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

True StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang