12. Luka yang Kembali Terbuka

26.9K 2.8K 135
                                    

 Lama yah :) Sorry.. . Liburan udah balik dari minggu lalu sebenarnya tapi minggu ini aku lagi banyak urusan. Terus  badan juga lagi nggak enak.  Seminggu kemarin juga mesti bolak balik ke dokter. Lupa deh sama Mba Ora dan Mas Rey. 

Aku percaya yang bisa menyembuhkan luka seseorang adalah orang yang membuat luka itu. Kepercayaan ini yang menginspirasi aku menulis TMW (yg berubah jadi RC), UC, MI dan SC. kemarin pas SC aku lupa ngasih tahu, kalau Luka masa lalu adalah benang merah dari keempat cerita yang udah aku bikin. Kemarin ada yang nanyain soalnya :), semoga jawabanku memuaskan yah

enjoy...

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kegugupanku tak tertahankan lagi begitu bertemu Rey di dapur esok harinya. Semalaman aku tak bisa tidur. Menyerah karena sama sekali tidak bisa memejamkan mata, akhirnya aku ke dapur pukul lima pagi. Melihat Rey yang duduk di tengah-tengah dapur mungilku, membuatku terkejut. Rey bukan orang yang bisa bangun pagi dengan mudah, dulu aku selalu membutuhkan tenaga ekstra untuk membangunkannya. Mungkin sama sepertiku semalaman dia juga tidak bisa memejamkan mata.

"Kopi?" tanyaku mencoba mengurangi kegugupan.

"Ya, terima kasih." aku mengernyit, heran mendengar jawabannya. Sejak kapan dia begitu sopan.

"Malam yang berat."

"Hmm..." gumamku enggan, lalu mulai menyibukkan diri dengan membuat kopi. Sengaja mengabaikannya. Melihat wajahnya membuat detak jantungku mulai berkejar-kejaran.

"Aku pikir mereka akan menolakku."

"Mereka merindukkanmu."

Setelah pembicaraan singkat itu kami kembali terdiam. Kecanggungan ini membuatku tersiska. Lebih baik aku tadi tetap tinggal di kamar daripada harus terjebak di sini bersama Rey.

Setelah memberikan kopi padanya, aku ingin kembali lagi ke kamarku, namun suara Rey menghentikanku.

"Siapa yang memberi nama mereka?" akhirnya pertanyaan ini muncul juga. Mungkin ini saatnya aku menjelaskan tentang nama mereka. Aku duduk menghadapnya, menggengam gelas kopiku kencang agar bisa menutupi tanganku yang terus-terusan gemetar.

"Aku." jawabku pelan

"Apa artinya?"

Kepalaku mendongak, memberanikan diri membalas tatapan matanya.

"Cahaya," jawabku pelan "masing-masing dari bahasa Armenia dan Itali."

"Nama yang bagus." Rey tersenyum samar. "Tapi, melihat nama pria lain yang mengikuti nama mereka, sejak awal kamu pasti sudah berniat nggak akan pernah kembali padaku, iya kan?"

"Iya."

"Nggak rindu keluargamu?"

"Aku sering menelpon mereka."

"Aku tahu, kamu cukup pintar dengan menggunakan private number dan berbohong kalau kamu tinggal di luar negeri." Rey tahu? Apa dia datang ke rumah Bapak dan Ibu lalu menanyakan keberadaanku. Kalau benar begitu, berarti mereka tahu kalau sudah lama aku pergi dari hidup Rey. "Ketakutanmu naik pesawat terbang, aku gunakan sebagai alasan kamu tidak bisa pulang." Lanjutnya, dengan tepat menjawab kekhawatiranku.

Selama ini keluargaku hanya tahu aku hidup bahagia bersama Rey. Kebetulan Negara yang aku pilih adalah Inggris. Negara yang menurut Daniel menjadi tempat tinggal Rey selama ini.

"Aku tidak punya pilihan."

"Kamu punya pilihan untuk tidak pergi!" teriakan Rey yang tiba-tiba membuatku kaget. Padahal tadi dia masih terlihat sangat tenang. "Kenapa kamu pergi? kamu pasti punya alasan?" suaranya terdengar memaksa.

ReconciliationWhere stories live. Discover now