22. Semak Membara - 1

27.4K 3.1K 354
                                    

                "Banyak hal yang bisa aku abaikan, Rey. Tapi pengkhianatan bukan salah satunya. Entah berapa kali aku meyakinkan diri dengan mengatakan, Rey suamiku aku harus percaya padanya. Tidak ada hubungan apapun diantara mereka. Mereka hanya teman." Aku tertawa pahit, ingat bagaimana dulu aku berkali-kali menanamkan kata-kata itu dalam pikiranku. "Yang aku lihat saat itu menghancurkan keyakinanku. Aku tak bisa lagi percaya padamu. Jadi, aku memutuskan pergi."

Rey terpaku, kepalanya menunduk.

"Aku cinta kamu, tapi kamu mencintai Laura. Aku tidak mau terluka, jadi aku pergi. Alasanku pergi sesederhana itu."

"Aku mencintaimu." Potongnya.

"Aku juga mencintaimu. Tapi..."

"Tapi?"

"Tapi ternyata cinta saja tidak cukup untuk membuat kita bersama, untuk tidak lagi membuatku terluka dan membuatku melupakan segalanya."

Aku menghela nafas perlahan.

"Selamanya, apa yang aku lihat saat itu akan menghantuiku. Akan menemaniku saat aku memikirkanmu atau melihatmu. Kenangan itu akan terpatri jelas dan akan tetap melukaiku. Sebesar itulah kamu melukaiku Rey, hingga berapapun banyak usaha dan waktu yang kamu punya tidak akan bisa mengobatinya. Aku memang mencintaimu, dari dulu tak ada yang berubah. Kamu masih membuat hatiku bergetar, kamu masih memenuhi pikiranku. Hanya saja, rasanya tak seindah dulu."

*****

"Kamu pulang cepat?" Rey yang sedang melepas jasnya berbalik, terkejut melihatku yang tiba-tiba masuk ke kamar.

"Hmm... aku mau ajak kamu pergi."

"Kemana?"

"Reuni sekolah."

Aku mengangguk.

"Kamu mau pergi?" tanyanya canggung.

"Iya," jawabku tak kalah canggung.

Setelah pengakuanku hari itu, hubungan kami berubah. Kami kembali berada di titik dimana kami asing satu sama lain. Tidak ada lagi canda dan tawa yang melingkupi, berganti dengan kecanggungan yang makin membuat kami berjarak.

Dua hari setelah hari itu, kami pulang kembali ke Jakarta membawa serta Mada yang ingin mulai menjalankan rencananya untuk membuka toko bunga. Bapak walaupun enggan dia membiarkan Mada pergi dan melakukan apapun yang dia inginkan. Bapak bahkan memberikan tanah kosong yang ada di Cikarang untuk jadi tempat usaha. Aku tidak terlalu kesepian atau sedih karena ada Mada yang menghiburku. Kami sering menghabiskan waktu bersama hingga membuatku bisa sedikit melupakan masalahku dengan Rey.

Sebisa mungkin aku dan Rey membuat hubungan kami terlihat normal, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Rey mencium keningku di hadapan keluarga kami setiap pagi sebelum mengantar Si Kembar ke sekolah, lalu aku akan mengantarnya dengan senyuman. Kami bicara dan bercanda jika sedang berada di hadapan orang lain dan akan berubah menjadi orang asing saat kami sendiri.

"Dresscode-nya hitam. Kita jalan jam tujuh, aku sudah minta Mada buat jaga anak-anak." aku kembali hanya mengangguk. "Kejora?"

"Hmm..." aku menatapnya. Keraguan terlihat jelas di matanya, melihatnya aku tahu dia punya banyak pertanyaan "Kenapa?"

"Nggak pa-pa. Kamu siap-siap aja dulu, aku main sama anak-anak sebentar.

Kami siap selepas maghrib , aku mengenakan dress hitam tanpa lengan dengan tambahan detail rendra pada bagian punggung . Panjangnya beberapa sentimeter di atas lutut. Rey mengenakan jas hitam fit body dengan tatanan rambut yang lebih rapi dari biasanya. Aku sedikit terkejut melihatnya, karena sehari-hari Rey lebih suka rambutnya terlihat berantakan.

ReconciliationWhere stories live. Discover now