18. Luapan Emosi 1

28K 2.8K 158
                                    

Minal aidzin wal Faidzin guys... mohon maaf lahir dan batin. Maaf juga nggak bisa balasin inbox untuk ucapan selamat idul fitrinya. Bad signal.

Part ini, aku jadi dua. Seperti judulnya, karena akan ada luapan emosi kalian siapin juga emosi buat baca.

Enjoy....
______________________________________

Saat bangun keesokkan harinya, tanganku masih dalam genggamannya. Melihat wajah polosnya, sepercik rasa bahagia langsung menyergapku. Dulu aku selalu menunggu rutinitas ini, bangun lebih dulu darinya lalu memandangi wajahnya selama beberapa menit. Rey, selalu terlihat begitu tenang saat tidur, hembusan nafasnya teratur, bulu matanya yang selalu membuatku iri, terlihat lebih panjang saat matanya tertutup, alis tebalnya terbentuk sempurna, rambutnya yang berantakan selalu membuatku tergoda untuk merapikannya. Rasanya tak pernah cukup untukku memandangi wajahnya.

Ternyata setelah bertahun-tahun aku masih merasakan hal yang sama. Pengaruh Rey padaku sama besarnya seperti dulu.

Puas menatap wajahnya, aku segera bangkit. Butuh waktu lima belas menit untuk melepaskan genggaman tangannya, harus aku lakukan dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkannya. Jam di nakas masih menunjukkan pukul lima pagi, aku menyelimuti Rey dan melangkah ke kamar mandi. Saat belum sampai pintu kamar mandi, aku menyadari tak ada keberadaan Si Kembar. Semalam aku pasti tidur sangat nyenyak hingga melupakan keberadaan mereka.

"Ra kamu kenapa?" mama bertanya saat berpapasan denganku di tangga. Tatapannya penuh tanya.

"Mama lihat anak-anak, mereka nggak ada di kamar?" ujarku dengan kepanikan yang tak bisa aku tutupi.

"Mereka ada di kamar mama, masih tidur." Jawaban mama membuatku lega.

Aku mengikuti mama berjalan ke arah dapur. "Maaf Ma, jadi ngerepotin. Semalam Jora tidur lebih awal dan nyenyak banget, sampai lupa sama anak-anak." Aku sangat malu, bisa-bisanya tidur dan melupakan anak-anakku.

"Masa ngerepotin. Orang mama cuma nidurin cucu mama." Senyumnya merekah cerah. "Reynold mana Ra?"

"Masih tidur, tadi Jora bangun duluan."

"Tidur?"

"Iya, dia kecapean banget Ma. Tidurnya nyenyak banget."

"Rey belum bangun? Masih tidur?"

"Rey tidur, Ra?" ulangnya.

"Iya, mau Jora bangunin tapi kasihan." Jawabku bingung, karena Rey yang masih tidur seolah hal mustahil terjadi. Berkali-kali mama bertanya dengan nada tidak percaya. Kebingunganku langsung berubah dengan kepanikan saat melihat airmata perlahan jatuh ke pipinya. "Mama kenapa, kok nangis?"

"Rey tidur nyenyak, Ra? Beneran?" aku mengangguk. Apa aku tadi mengatakan hal yang salah, hingga membuat mama menangis. "Rey tidur, Ra?" Ulangnya lagi, kali ini bercampur dengan suara isak tangisnya.

Takut membangunkan seisi rumah dengan tangisan mama yang semakin kencang, aku mengajak mama duduk , lalu dengan nada lembut bertanya padanya. "Mama kenapa?"

"Rey tidur nyenyak, Ra?" mendengar kembali pertanyaan yang sama, aku memilih diam dan menunggu apa yang akan mama katakan selanjutnya. "Rey... Rey... sudah lama nggak bisa tidur nyenyak." Keningku mengernyit, tidak mengerti maksud ucapan mama. "Sejak kepergianmu, Rey tidak pernah bisa tidur nyenyak. Dia selalu terbangun sebelum dia benar-benar tidur. Mama sampai harus membawanya ke dokter untuk mengetahui apa masalahnya. Selama ini dia harus minum obat agar bisa tidur nyenyak, itupun hanya beberapa jam."

Aku tidak tahu harus mengatakan apa, terkejut mendengar informasi yang baru saja aku dapatkan.

"Dia sangat hancur Ra, setelah kepergianmu mama pikir mama kehilangan putra mama. Dia bernyawa tapi seperti mayat hidup." Mama menghembuskan nafasnya perlahan, isak tangisnya sudah lebih tenang. Tapi, suaranya masih tersendat-sendat saat bicara. "Seminggu pertama setelah kepergianmu, dia seperti orang gila, mencarimu kemana-mana. Semua kenalanmu dia datangi. Saat tidak mendapatkan hasil apapun, dia mengurung diri di apartemen kalian. Mama harus memaksanya bicara, makan, tidur karena dia tak melakukan apapun. Dia hanya duduk di ranjang kalian dengan tatapan mata kosong. Mama terlalu putus asa, saat akhirnya mama memaksanya tinggal di sini."

ReconciliationWhere stories live. Discover now