Keputusan - 3

2.6K 184 15
                                    

"Terimakasih atas waktunya Pak."

"Iya, saya terimakasih juga.. Saya permisi balik duluan. tidak apa-apa kan? Saya masih ada perlu lagi."

"Oh iya Pak, tidak apa-apa, kita bicarakan hal ini lain waktu."

"Baiklah, saya tinggal ya."

"Loh Pak,"
Sebelum perempuan itu melanjutkan ucapannya, Arbani sudah menariknya terlebih dahulu, meninggalkan dua laki-laki yang masih duduk santai sepeninggalnya dengan Arbani.
"Bukannya meeting kita belum selesai Pak?"
Tanya Najwa. Langkahnya pun masih mengikuti laki-laki itu, bagaimana tidak, jika tangannya saja ditarik oleh Arbani.

Setelah sampai diparkiran, Arbani menghentikan langkahnya dan melepas tangan perempuan itu, kemudian memperhatikan Najwa yang sedang bingung dengan tingkah laki-laki itu.

"Katamu, kamu harus cepat-cepat ke panti. Kita akan kesana sekarang."
Ucap Arbani akhirnya.

"Tapi saya kira kita akan menyelesaikan meeting itu sampai tuntas Pak."

"Ini sudah diluar jam kerja bukan? Itu artinya kita sudah menjadi teman, bisa untuk tidak bicara seformal itu?"

Kalimat laki-laki itu membuat Najwa menunduk.

"Aku hanya ingin kita berteman seperti halnya kamu berteman dengan Aqil."

"Tapi, aku masih nggak ngerti sama kamu."

"Iya, karena kamu memang belum mengerti aku."

"Lalu bagaimana cara kita berteman? Kalo aku sendiripun tidak mengerti kamu, atau mungkin tidak akan bisa mengerti kamu."
Ucap Najwa yang membuat laki-laki itu tidak bersuara lagi.

Apa aku menyakiti hatinya tadi, dengan mengatakan kalimat yang tidak seharusnya aku ungkapkan, yang seakan-akan menghakiminya.
Najwa menyalahkan dirinya yang tidak mengontrol diri, bukannya dirinyalah yang mengajak laki-laki itu untuk berteman, dan berjanji untuk merubah sikap dan persepsi Arbani, tapi kenapa sekarang perempuan itu menjadi tidak percaya diri, malah menyalahkan sikap Arbani yang seharusnya dia rubah.

"Maaf, maaf, aku nggak maksud buat ngomong kayak gitu tadi."

"Nggak apa-apa, kamu sekarang tau kan resiko berteman denganku?"
Meski kalimatnya datar dan tak tersentuh, namun ada rasa sakit yang menyiratkan.

"Nggak gitu, aku nggak nyesel berteman denganmu, nggak sama sekali. Mungkin butuh waktu untuk aku bisa ngerti kamu, sikap dan sifat kamu, karena memang kita baru kenal, belum tentu apa yang tidak aku mengerti akan selamanya tidak aku mengerti. Maafkan aku, aku nggak bermaksud seperti itu."
Jelas Najwa, seharusnya dia tidak seegois itu.

"Sudahlah nggak perlu dibahas. Aqil pasti sudah nunggu kamu."
Ucap Arbani sembari melangkah untuk menjangkau mobilnya yang berada tidak jauh.

"Kita,"
Ucap Najwa.
"Kita ditunggu oleh Kak Aqil, bukan hanya aku."
Jelasnya.

Dibalik tubuhnya, Arbani tersenyum, entah kenapa perempuan itu seakan ingin mempertahankan pertemanannya padahal dia sudah tau bagaimana sikap laki-laki itu.

Kruyuk kruyuuk..

Najwa memegang perutnya, dia mengutuk perutnya yang tidak tau diri berbunyi disaat seperti ini.

"Itu tadi suaramu?"
Arbani berbalik, dan wajahnya memerah menahan tawa.
Uh menyebalkan sekali, dia pura-pura bertanya padahal sudah tau.

"Bisa bedain mana suara mulut sama suara..."

"Perut?"
Sahutnya dengan seringaian, tawanya pun tidak bisa terbendung ketika mendapat balasan Najwa yang merengut.
"Yasudah, sebelum ke panti kita bisa mampir makan kerestorant yang tidak jauh dari tempat itu. Gimana?"

Cahaya Awan ( On Hold )Onde histórias criam vida. Descubra agora