Celaka

1.2K 112 4
                                    

"Qil,"
Suara bariton itu terdengar seiring tepukan dipundak laki-laki bernama Aqil. Setelah bertemu dengan Adibah, dan mengantongi sebotol kecil racun, laki-laki itu memutuskan untuk bertemu dengan Arbani. Hanya Arbani lah yang bisa memberi jalan keluar untuk menghindari bagaimana piciknya Adibah.

"Lo udah disini." Ucap Aqil yang terlihat gusar, wajahnya sedikit berseri kala menemukan Arbani sudah mengambil duduk didepannya.

"Ada apa lagi sama Adibah?"

Aqil mengeluarkan sebotol racun dan diletakkannya diatas meja. Arbani mengernyitkan alisnya, melihat sebuah botol kecil yang mencurigakan, selain karena bentuk dan warnanya yang tidak familiar, dia juga melihat Aqil penuh dengan beban.

"Cara melenyapkan Najwa lagi?" Kembali, Arbani bertanya. Dan Aqil mengangguk, mengiyakan.

"Apa yang harus gue lakuin? Gue cinta sama Najwa, tapi tanggung jawab yang membuat gue harus melenyapkannya." Tangan Aqil mengepal, dan menghentak meja yang ada didepannya. Terasa menumpah ruahkan segala yang menjadi dadanya nyeri.

Mendengar itu, dada Arbani juga merasakan nyeri yang mengundangnya ingin meringis kesakitan, tapi coba ditahannya karena menjaga perasaan Aqil, sebagai sahabatnya. Kini, Arbani mengutuk dirinya sendiri, siapa dia? Hanyalah perantara, antara Aqil dan Najwa, hanya mengemban amanah dari Aqil untuk menjaga Najwa, hanya itu. Lalu kenapa Arbani keterlaluan membiarkan perasaan itu terus mengembang.

"Bani? Lo denger gue kan?" Ucap Aqil, mencoba menyadarkan Arbani dari lamunannya. Aqil heran, Arbani jarang tidak fokus, tapi kenapa sekarang laki-laki itu melamun, seperti ada sesuatu hal yang mengusik hatinya.

"Eh, iya. Terus gimana rencana lo selanjutnya? Yang terpenting rencana itu nggak bahaya buat diri lo sendiri." Ucap Arbani kemudian.

"Adibah pasti mantau gue. Dan kalo dia tau, gue nggak gunain racun itu buat bunuh Adibah, dia ngancam gue bakal bunuh Najwa dengan tangannya sendiri." Jelas Aqil. Laki-laki itu gusar setengah mati.

"Tenang. Lo lakuin apa saja yang jadi rencana gue. Masalah menjaga Najwa, gue pastikan dia akan selalu baik-baik saja." Jawab Arbani dengan mantap. Membuat kilatan rasa sakit juga dirasakan oleh Aqil. Laki-laki itu menatap sahabatnya yang sedang melonggarkan dasi.

"Pada dasarnya, yang selalu bersama belum tentu menjadi satu. Tapi, yang hanya sekedar lewat, menjadi sangat erat satu sama lain."
Ucapan Aqil membuat Arbani terhenyak, dia kembali mengkoreksi pernyataan terakhirnya tentang Najwa. Apa Aqil sadar bahwa Arbani juga telah mencintai Najwa?
"Lakukan itu, jika membuatnya bahagia."
Tanbah Aqil yang lagi-lagi membuat Arbani tidak enak.

"Apa maksud lo?"
Arbani berpura-pura.

"Gue sadar, selama ini Najwa hanya menganggap gue sebagai kakaknya, mungkin karena sepeninggal ayahnya, dan gue lah yang selalu ada untuk dia. Tapi bukan berarti yang selalu ada untuknya, juga akan menjadi orang terspesial. Setau gue, seperti yang ada dalam pantauan gue, orang spesial bagi Najwa adalah lo." Jelas Aqil tidak perduli dengan sebotol racun itu.

Arbani menyipitkan mata, berusaha mencerna setiap penjelasan Aqil yang membawanya tersenyum bahagia, namun harus tertutup rasa sedih karena beranggapan dirinya telah mengkhianati Aqil.
"Itu nggak mungkin."

"Apa yang nggak mungkin? Gue kenal betul Najwa, bagaimana tingkahnya, bagaimana bicaranya, dan bagaimana caranya memandang seseorang. Ketika melihat lo, pandnagan yang berbeda gue liat dimata Najwa." Jelas Aqil lagi.

"Tapi, gue bukan sahabat yang akan menghancurkan harapan sahabatnya sendiri. Harapan lo segera terlepas dari Adibah kan? Dan kembali ke Najwa secepatnya?"

"Iya, tapi itu terlalu mustahil." Terdengar tarikan nafas kuat, lalu hembusan yang keras dari Aqil.
"Hentikan drama ini, kita cowok. Kita nggak perlu berdebat, ini semua sejalan dengan adanya takdir. Sememaksa apapun gue untuk bisa dengan Najwa, tapi kalo bukan gue takdirnya, gue bisa apa?" Tambah Aqil yang membuat Arbani hening.

Cahaya Awan ( On Hold )Where stories live. Discover now