Prolog

355 17 2
                                    

"Nanti aku mau jadi dokter."

Anak perempuan kecil berusia tujuh tahunan itu spontan mengalihkan pandangan pada teman di depannya yang baru saja mengatakan ingin menjadi seorang dokter. Semangat yang sempat terlihat di wajahnya, yang masih sedikit pucat karena belum pulih benar dari sakit, memudar. Dia mengembungkan mulut. Ujung alisnya turun, merasa tidak suka dengan pernyataan yang baru saja didengar.

"Kenapa dokter? Aku kan nggak suka dokter," protesnya.

"Karena kamu nggak suka dokter, makanya aku jadi dokter."

"Kok gitu?"

"Supaya ada dokter yang kamu suka. Kamu suka aku, kan?" tanyanya polos.
Si anak perempuan hanya bisa mengerutkan dahi. Dia masih belum mengerti dengan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya.

"Biar kamu berani disuntik kalo lagi sakit."

Anak laki-laki itu kemudian beranjak dari bangku kayu di taman yang sedang mereka duduki. Dia mengambil sebuah daun jambu biji kering. Pandangannya lekat pada sehelai daun yang mulai rapuh saat digenggamnya.

"Kamu ngapain?" Si anak perempuan semakin penasaran. Lama dia menunggu, tidak ada jawaban yang berhasil didapatkannya. Sementara itu, si anak laki-laki seperti memikirkan sesuatu. Dia memperhatikan situasi di sekelilingnya. Entah ide kreatif apa lagi yang tengah memenuhi otaknya.

Seulas senyum nampak ketika ia melihat sebuah sapu lidi yang disandarkan oleh pengurus panti asuhan di sebuah tong sampah. Kedua kaki mungil dengan sandal yang tidak sama sebelah kanan dan kirinya itu melangkah menuju tempat sapu lidi tersebut.

Berhasil mendapatkan apa yang dia mau, anak laki-laki memutar badan, memamerkan sebatang lidi di sebelah kanannya, dan daun kering yang telah berbentuk seperti serbuk gergaji karena diremasnya dengan kuat.

"Aku suntik dulu. Habis itu aku kasi kamu ramuan ini," katanya bangga.

***

Makasih buat semua yang udah mau mampir ke dunia mimpi.
Luph. Luph.

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now