Merangkai Mimpi

37 3 1
                                    

Ritha memutuskan untuk mendampingi Helma mengajar di kelas. Beberapa hari belakangan, setiap kali ada jam mengajar, dia selalu meminta Kikan atau Mia untuk menggantikannya.

Karena didampingi Ritha, Helma terpaksa ikut masuk ke kelas. Mereka akan menjadi team teaching.

Kali ini, anak-anak kelas lima mendapat pelajaran kewarganegaraan. Mendadak, sebuah pertanyaan melintas di benak Ritha saat ia hendak membuka kelas. Pertanyaan yang lagi-lagi, membuatnya teringat akan Bagas.

“Apa kalian ingin menjadi berguna untuk bangsa dan negara?”

Tidak perlu menunggu lama untuk mendapat respon dari anak-anak itu.

“Iya, Bu!” jawab mereka serentak.

“Kalau gitu, apa yang kalian lakukan supaya bisa jadi berguna?”

Kelas mendadak sepi. Mereka saling pandang. Bahkan Sudarma yang biasanya selalu mengangkat tangan saat mendapatkan pertanyaan, tidak bergerak. Dahinya berkerut dalam, seperti tengah memikirkan sesuatu.

Sementara itu, Helma yang duduk di meja guru masih menerka apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Ritha.

“Kalian punya cita-cita?”

“Punyaaa!” Kembali, Ritha mendapat jawaban kompak dari para siswanya.

“Baik, boleh Ibu tahu, apa cita-cita kalian?”

Keheningan akhirnya pecah. Anak-anak itu spontan mengangkat tangan mereka, berebut ingin menjadi yang pertama yang menjawab pertanyaan dari Ritha.

Seperti biasa, Sudarma yang paling tinggi mengangkat tangan. Ritha tersenyum, namun dia ingin memberikan kesempatan kepada anak lain. Jangan sampai ada kesan, bahwa dia hanya memperhatikan Sudarma. Semua siswa sama di matanya.

“Semua pasti dapat giliran, ya! Sekarang, Ibu mau dengar cita-citanya Sri.”

Sri spontan berdiri tegap. “Saya mau jadi seperti Bu Ritha.”

Helma yang mendengarkannya segera mengalihkan pandangan pada Ritha yang berjalan mendekat ke tempat duduk Sri.

“Jadi guru?”

“Iya, Bu!”

“Sri anak yang pintar, jadi, suatu hari nanti pasti bisa jadi guru.”

Pipi Sri bersemu. Dia semakin bersemangat mewujudkan cita-citanya kelak.

“Kalau saya mau jadi petani, Bu!” Gelgel dengan lantang menyampaikan cita-citanya sesaat setelah Ritha mempersilakan.

Helma bangkit berdiri. Entah mengapa, dia mulai tertarik mendengar apa yang dikatakan oleh anak-anak ini. Ingin menjadi seorang petani? Dia tidak pernah mendengar teman-temannya memiliki cita-cita sebagai seorang petani. Dokter, pilot, astronot, pengusaha sukses, direktur, dosen adalah beberapa profesi yang paling sering didengarnya.

Ekor mata Ritha menangkap wajah Helma yang nampak penasaran dengan aktivitas kelas ini. Ritha seperti tahu apa yang sedang mengusik pikiran Hema. Dia pun memancing Gelgel untuk mengemukakan alasannya. “Kenapa Gelgel ingin jadi seorang petani?” 

“Saya mau jadi petani supaya tidak perlu beli beras, Bu!” Gelgel memberikan jeda. Sejenak, dia memandang Helma yang berdiri dengan tangan terlipat di belakang pinggang. “Kata ibu saya, beras sekarang mahal, Bu. Kalau saya jadi petani, ibu saya tidak perlu beli beras di warung,” tambahnya polos.

Helma terkesima dengan jawaban anak itu. Dia justru merasa anak itu lebih hebat dari dirinya. Selama ini, dia tidak pernah peduli akan siaran di televisi yang memberitakan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Semua itu tidak berdampak pada kehidupannya. Yang dia tahu, saat ada kenaikan harga, maka uang bulanan yang masuk ke rekeningnya juga akan bertambah besar.

Pemikiran sederhana Gelgel telah membuat Helma merasa sangat kecil. Dia bukanlah siapa-siapa.

“Petani juga pekerjaan yang luar biasa. Kalau tidak ada petani, negara kita bisa kekurangan bahan makanan pokok. Jadi, kalau Gelgel bercita-cita sebagai petani, apa dia akan berguna bagi bangsa?” pertanyaan Ritha kembali mendapat jawaban yang serempak dari para siswa.

“Bergunaaa…!!!”

“Siapa lagi yang punya cita-cita selain itu?"

Sudarma yang sejak tadi belum mendapat giliran, mengangkat tangan sambil berdiri. Dia tidak sabar menjawab pertanyaan Ritha, apalagi setelah dua orang temannya mendahului.

“Sudarma!”

“Saya mau jadi orang pintar, Bu!” katanya bangga.

Helma dan Ritha saling pandang. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa Sudarma akan menjawab demikian.

“Jadi orang pintar?”

“Iya, Bu. Saya mau belajar biar pintar.”

Helma merasa terpancing untuk terlibat dalam diskusi seru para siswanya. Dia berjalan melalui Ritha, mendekati meja Sudarma yang terletak di pojok kelas.

“Kenapa tidak jadi pilot saja?”

Awalnya, Helma membayangkan bila Sudarma akan kebingungan menjawabnya. Tapi rupanya dia salah. Masih dengan tetap berdiri, Sudarma berkata dengan tegas.

“Kalau saya sudah pintar, saya bisa jadi apa aja, Bu! Saya bisa jadi guru, bisa jadi polisi, bisa jadi tentara. Pokoknya bisa jadi semua, Bu!”

Helma menunduk, kemudian tertawa kecil.

“Benar! Apa pun yang kita inginkan, kita harus rajin belajar dulu. Supaya jadi pintar. Harus rajin mengerjakan PR. Harus rajin pergi ke sekolah. Tidak boleh bolos, ya! Semasih bisa sekolah, kalian harus tetap sekolah. Siap menjadi anak yang berguna?”

“Siap Bu!”

Ritha tersenyum bahagia melihat semangat para siswanya.

Sementara Helma, dia merasa ada sesuatu yang merambat ke dalam hatinya, memangkas setiap ketidaksukaannya terhadap ruangan kelas dan anak-anak yang selalu menjejalinya dengan berbagai pertanyaan.

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now