Pergi pada Mimpi

61 3 0
                                    

“Kamu yakin bakalan ikut program itu?”

Ritha menggangguk mantap sambil tetap menyantap nasi goreng yang baru saja dipesan.

Helma kehabisan akal. Hampir setahun mengenal Ritha, Helma tahu, saat Ritha telah mengambil keputusan, akan sangat sulit untuk mengubahnya. Helma masih tidak ingin Ritha pergi ke luar pulau untuk mengajar.

“Kenapa? Kamu takut kesepian? Bukannya udah ada tukang ojek ini.” Ritha tersenyum simpul, menunjuk Sandy dengan ujung sendoknya.

Helma memandang Sandy yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan setia percakapan antara sahabat dan kekasihnya tersebut.

Tiga bulan yang lalu, Helma dan Sandy akhirnya meresmikan hubungan mereka sebagai sepasang kekasih. Desa KKN memang selalu bisa menjadi tempat cinlok yang berkesan.

“Tapi Ta, aku udah ada planning ngajak kamu ngajar di SMP yang baru mau dibuka ortuku.” Helma masih berusaha membujuk Ritha. Sejak menyelesaikan masa KKN, dia membayangkan bisa mengelola sekolah bersama. Sekolah itu akan diperuntukkan untuk anak-anak kurang mampu. Pasti akan sangat menyenangkan bisa membantu mereka mewujudkan mimpi. Helma bahkan sudah mengatakan keinginannya ini kepada papanya.

“Ni anak pasti lebih sakit hati kalo ditinggal sama kamu, Tha! Coba aku yang berangkat, dia biasa-biasa aja.” Sandy menyipitkan sebelah mata, memandang Helma sinis.

Mendapat perlakuan demikian, Helma dengan cepat mendaratkan telapak tangan ke pundak kanan Sandy. Keras.

Sandy berteriak kecil, kemudian mengelus-elus pundaknya yang sakit karena mendapat serangan mendadak tersebut.

“Kalau kamu bilang berangkat, aku jelas nggak panik. Aku tau kalau kamu sedikit pun nggak niat untuk ikutan program itu,” jelasnya penuh keyakinan. “Kamu juga nggak bisa jauh dari aku, kan?” tebaknya lagi penuh percaya diri. “Trus, ngapain juga aku mesti repot.” Giliran Helma yang menunjuk-nunjuk Sandy dengan ujung sendoknya.

Sandy menyerah. Lebih baik tidak banyak berkomentar. Spaghetti yang dipesan Helma bahkan belum terjamah karena sejak tadi dia sibuk mengurusi keputusan Ritha untuk mengikuti program SM3T.

Program ini memang ditujukan untuk sarjana lulusan kependidikan yang mau mengabdi dan menerapkan apa yang mereka dapat selama kuliah di daerah 3T, daerah terdepan, terluar dan tertinggal. Sudah lama Ritha berharap dapat ikut di dalamnya. Jika Ritha lulus, dia akan ditempatkan di daerah sasaran. Entah dimana, mereka belum tahu.

“Ma, kamu tau kan, kalau ini mimpi terbesarku. Aku udah liat foto-foto kakak tingkat yang lebih dulu berangkat,” jelas Ritha untuk yang kesekian kalinya, berusaha membuat Helma mengerti mengapa dia tetap nekat mendaftarkan namanya meskipun akan ada banyak tantangan yang akan dihadapi, termasuk ibunya sendiri.

“Iya, Tha! Dan di sana, sinyal susah, air susah, listrik su…”

“Dan kamu juga tau, kalau itu justru bikin aku lebih tertantang buat segera berangkat ke sana,” sergah Ritha cepat. Dia sudah memikirkan semua dengan sangat matang. 

Seharusnya Helma bisa berhenti membujuk Ritha karena itu hanya akan menjadi usaha yang sia-sia, namun sepertinya dia belum ingin menyerah secepat itu. Helma tidak bosan menjejali Ritha dengan hal-hal tidak menyenangkan yang mungkin dihadapi Ritha di sana. “Kalau kamu nggak bisa SMS, nggak bisa telpon, nggak bisa online, gimana?”

“Ya, nggak masalah. Aku bisa hidup tanpa alat komunikasi kok. Pacar juga nggak punya, jadi nggak perlu ribet soal itu,” sahut Ritha enteng. Dia kemudian mengambil gelasnya, menyerumput jus tomat sampai habis setengahnya. “Ngelihat anak-anak itu belajar di ruang kelas yang alasnya tanah, ngeliat mereka belajar dengan fasilitas yang terbatas justru bikin aku semakin nggak sabar buat berangkat,” imbuhnya membuat Helma kehabisan kata-kata.

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now