Someday

98 3 0
                                    

Berulang kali Ritha melihat kembali tampilan jam digital di layar handphone-nya, tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang. Setelah diadakan pelepasan mahasiswa dari pihak kampus kepada bupati setempat, seluruh mahasiswa harus terjun ke lokasi hari ini. Ritha sendiri telah menghubung perbekel dan menyampaikan bahwa mereka akan tiba pada pukul sembilan pagi.

Ritha semakin cemas, terlebih saat mengingat jika pihak aparat desa telah menyiapkan acara kecil-kecilan untuk menyambut mereka. Jekas terlihat dari spanduk berukuran sedang yang di ruang pertemuan, serta susunan meja dan kursi yang rapi. Beberapa kelian dinas bahkan telah hadir. Malu kalau sampai acara terlambat hanya karena satu orang mahasiswa, Putu Helma Adelina.

"Seharusnya kamu suruh dia berangkat bareng rombongan, apa pun alasannya." Dera yang juga gelisah dengan mudah menyalahkan Ritha karena telah mengizinkan Helma dihantar keluarganya. Dera kembali melirik jam tangan kemudian berjalan mendekati gerbang. "Kenapa kesannya dia jadi kayak orang penting yang harus selalu ditungguin sih?"

Ritha tidak menggubris. Dia berusaha tampak tenang, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa dia juga kesal atas keterlambatan ini. Jangan sampai Helma lari dari tanggung jawab. "Dia bilang nggak bakalan telat dateng."

"Buktinya?"

"Mungkin lagi ada masalah di jalan. Kita kan nggak tau," bela Sandy, mencoba menghentikan protes Dera. Tubuhnya yang jangkung berhasil membuat Dera yang tingginya tidak lebih dari 160 sentimeter itu harus mengangkat wajah untuk melihat Sandy.

"Sayu manggil kamu. Kayaknya dia kesulitan ngurus barang-barang yang belum kamu angkut ke balai desa!"
Sandy tidak suka dengan tingkah Dera yang terlalu ikut campur urusan orang. Urusannya sendiri saja tidak bisa ditanganinya dengan baik. Barang-barangnya masih tergeletak begitu saja di balai desa, belum dipindahkan ke tempat yang telah disediakan.

Merasa dipojokkan, Dera segera melangkahkan kaki, menjauh dari teras kantor dengan wajah memberengut.

"Sudah kamu hubungi dia?"
Ritha hanya mengangguk kecil menanggapi pertanyaan Sandy. Dari sekian banyak panggilan yang dilakukan melalui telepon, Helma hanya meresponnya dua kali. Dan jawaban yang didapatkannya tetap sama. "Dia bilang lagi on the way, tapi nggak mau bilang tepatnya dimana."

"Kalau memang lagi ada masalah jalan, kita nggak bisa maksa dia buat cepet-cepet nyampe. Kalau akhirnya ngebut, trus terjadi apa-apa justru kamu bisa ngadepin masalah yang lebih besar lagi." Sandy memutar badan, memandang Ritha. Dalam hati, ada perasaan bersalah yang singgah karena membebankan tanggung jawab kordes padanya. Dia merasa tengah menjadi seorang pengecut.

"Kenapa waktu itu kamu nggak mau jadi kordes? Karena memang kamu tau bahwa hal-hal kayak gini bakalan sering terjadi?"

Pertanyaan Ritha yang tepat sasaran itu berhasil membuat Sandy membentangkan senyum lebar. Matanya kemudian menyipit. "Kamu ternyata lebih cerdas dari yang kupikirkan." Sandy menepuk pundak Ritha berulang kali.

Ritha memutar bahu.

"Ups, maaf!" Sandy menarik kembali tangannya. Dia juga tidak mengerti mengapa dengan cepat bisa merasa dekat dengan Ritha. Dia bahkan berani menepuk pundak Ritha seolah mereka adalah teman akrab. Padahal, hari ini adalah pertemuan ketiga mereka. Pertama, saat pembekalan KKN, dan kedua saat rapat persiapan keberangkatan.

Berada dalam naungan universitas yang sama dengan perbedaan jurusan dan lokasi membuat mereka tidak pernah bertemu. Sandy tercatat sebagai mahasiswa pendidikan geografi.

Suara mobil yang berhenti tepat di kantor desa berhasil mengalihkan perhatian keduanya. Ritha segera berlari kecil mendekati gerbang agar bisa melihat siapa yang datang. Ia hanya ingin memastikan bahwa benar itu adalah Helma.

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now