Kelas Pertama

34 3 0
                                    

Seperti tanpa beban, Helma berdiri penuh kepercayaaan diri. Menghadapi siswa kelas lima SD bukanlah sesuatu yang menakutkan baginya. Selama masih ada Lembar Kerja Siswa, menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan berat.

Pikirnya, para siswa itu sudah bisa membaca, jadi mereka sudah bisa mempelajari semua secara mandiri.

Helma baru saja ingin menuliskan tugas yang harus dikerjakan para siswanya di papan, tapi ia buru-buru mengurungkan niat setelah tahu hanya ada kapur di sana. Helma belum siap mengotori tangannya dengan benda itu.

"Kerjakan soal latihan di halaman 43. Dikerjakan semua, ya! Sebentar itu dikumpulkan!"

Helma kemudian berjalan menuju meja guru, mengambil ipad, kemudian mulai menyibukkan diri dengan dunia maya.

Sementara itu, kebanyakan siswa hanya membiarkan halaman bukunya terbuka, tanpa mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Helma. Sejak tadi mereka merasa seperti kedatangan tamu asing.

Helma sama sekali belum menyapa mereka, belum melakukan presensi, atau pun sekadar menyebutkan namanya. Anak-anak itu tidak tahu siapa yang saat ini sedang duduk, yang tiba-tiba datang meminta mereka mengerjakan dua puluh soal perkalian di dalam LKS mereka.

***

"Tadi belajar apa?" Ritha menyapa ramah seorang siswa kelas lima, yang kemarin sempat diajarnya.

Anak yang disapa Ritha tersebut, buru-buru menghabiskan kacang yang sedang dikunyah.

Sementara itu, saat tahu Ritha sedang mengobrol dengan rekannya, beberapa anak lain berlari mendekati Ritha. Mereka seperti tidak ingin kehilangan waktu bersama dengan Ritha, terlebih setelah tadi pagi, ia tidak masuk ke kelas mereka.

"Belajar perkalian, Bu!" sahutnya polos.

"Wah, sudah pintar perkalian berarti, ya?"

Anak itu menggeleng. Seorang siswa bertubuh gemuk dengan kulit gelap tiba-tiba menyela pembicaraan tersebut.

Ritha masih bisa mengingat siapa nama anak itu. Dia Sudarma. Siswa kelas lima yang aktif bertanya saat Ritha mengajar di kelasnya. "Nggak bisa buat tugas, Bu!"

"Lo, kenapa? Siapa yang ngajar? Bu Helma, bukan?"

Anak-anak berbalas pandang. Mereka tidak mengetahui nama guru yang barusan masuk ke kelas mereka.

"Ibu gurunya judes," ungkap Sudarma jujur.

Ritha tersenyum, membelai lembut rambut Sudarma yang kasar dan kering karena terlalu sering berada di bawah terik sinar matahari.

Anak-anak itu tidak mungkin berbohong. Pasti ada alasan mengapa mereka memanggil Helma dengan sebutan demikian.

Setelah ini, Ritha berencana akan menanyakannya langsung pada Helma.

***

Kikan mendadak merasa cemas. Belum habis tumpukan kertas di sebelahnya dikoreksi, tapi hasil dari sebagian siswa membuat perasaannya tak menentu.

Ini hanya soal perkalian sederhana yang melibatkan dua angka. Tapi kebanyakan dari mereka tidak bisa menjawab dengan benar. Dari dua puluh soal, rata-rata hanya benar dua sampai tiga soal.

Kikan mulai membandingkan hasil ini dengan kemampuan keponakannya yang baru saja naik kelas empat. Saat liburan kemarin, dia sempat mendampingi Dendi, anak sulung kakaknya itu belajar. Dendi sudah bisa mengerjakan soal serupa dengan baik.

"Ma, kayajnya mereka belum ngerti cara ngerjain perkalian bersusun ini."

Kikan menyodorkan salah satu lembaran kertas itu. Begitu tiba di rumah Pak Ketut, Helma meminta bantuannya untuk mengoreksi tugas yang diberikan para siswa. Helma hanya menoleh sejenak. Ia membuang muka tidak peduli begitu Kikan mencoret semua nomor pada kertas itu.

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now