Membuang Pura-Pura

40 3 0
                                    

Ritha menggigit bibir bawah. Tidak tahu harus berkata apa untuk menanggapi sahabatnya yang tengah mencurahkan isi hati dari seberang sana.

Dalam sehari, sudah tiga kali Sheila menghubunginya dengan topik yang sama. Ritha ingin mengubah jalan pembicaraan Sheila, tapi dia tidak bisa menemukan celah untuk itu.

"Dia bilang besok mau ke sana. Aku nggak tau sampai kapan semua jadi kayak gini."

"Kamu aja nggak tau, apalagi aku." Ritha mengurut-ngurut dahinya sendiri. Harapnya, itu dapat menghilangkan pening yang dirasakan sekaligus membantunya berpikir tenang.

Saat ini, Sheila dan Helma adalah temannya. Dia tidak tahu harus berpihak pada siapa. Semua sudah terlanjur terjadi. Skenario telah lama dimainkan. Dan sekarang, entah bagaimana caranya agar mereka dapat mengakhiri semua.

"Kadang aku lelah harus terus sembunyi-sembunyian gini. Backstreet itu nggak enak."

"I've told you before, Dear. And you keep doing it!"

Ritha masih berusaha menjaga nada suara, meskipun dia sebenarnya telah jenuh memperingatkan Sheila. Kalau memang tidak sanggup berada dalam posisi ini, Ritha merasa akan lebih baik jika mereka mengakhiri saja hubungan rahasia mereka itu.

"But, I do love him. Kamu tau kan rasanya cintai sama seseorang kayak ini?" Sheila berkata sendu, dan ini berhasil membuat Ritha terpaku. Dia tahu benar bagaimana rasanya.

Dia sendiri kadang terlihat seperti orang bodoh, menanti sesuatu yang tidak pasti. Entah berapa kali ia mencoba untuk melepaskan diri, namun dia gagal menemukan jalan keluar. Tetap bertahan pada satu cinta yang sama, meskipun tahu bahwa orang yang dia cintai telah menjalin hubungan dengan orang lain rasanya sungguh menyakitkan. Dia tidak ada bedanya dengan Sheila.

"Bagas masih dengan pacarnya itu, kan?"

Skak mat. Pertanyaan Sheila menohok Ritha. Terlalu dalam, sampai begitu sulit bagi Rieta untuk menganggapnya sebagai angin lalu. Dia tidak dapat membela diri, atau sekadar memberikan nasihat untuk menjauhi Jimmy. Dia juga belum berhasil mengatasi urusan hatinya.

"Kalau ada kesempatan, biar aku coba bicarakan ke Pak Jimmy."

"Kamu serius?"

"Aku coba Shel. Semoga dia bisa segera ngambil keputusan. Aku harus balik ke klinik sekarang, call me later!" Ritha segera mematikan panggilan tersebut. Klinik hanyalah alasan untuk mengakiri obrolan itu. Mendadak, dia merasa lemas. Ritha menyandarkan tubuh pada tembok, menatap langit-langit ruang rapat.

Tidak ada yang bisa disalahkan. Setiap orang memiliki hal untuk mencintai, kepada siapa pun.

***

Hujan gagal menghalangi niat anak-anak untuk belajar. Klinik tetap ramai, apalagi karena hari ini adalah jadwal komputer. Mereka selalu tertarik dengan mesin tik ajaib ini. Mereka selalu termangu saat melihat apa yang mereka ketik bisa muncul pada layar.

Karena laptop yang disediakan terbatas, mereka dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari tiga sampai empat orang. Mau tidak mau, mereka harus sabar menunggu giliran agar dapat menggerakkan jari-jari di atas keyboard. Mahasiswa KKN, seperti biasa, mengambil peran sebagai tutor. Tiba-tiba, perhatian mereka teralih pada sosok pemuda berkacamata yang tiba-tiba datang dari arah gerbang dengan payungnya.

"Itu, bukannya kakak yang di foto?" pertanyaan Ningsih berhasil membuat Widana menoleh. Padahal, sejak tadi dia begitu serius membuat namanya terlihat indah dengan Word Art. Sejenak, Widana ikut menfokuskan pandangannya pada pemuda yang dimaksud Ningsih.

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now