Hati yang Tergerak

57 3 0
                                    

Ritha memejamkan mata. Ia kembali terbawa pada bayang-bayang masa lalunya. Puzzel bergambar binatang yang baru saja dibuat, sejenak tidak mendapatkan perhatiannya.

Sejak membahas cita-cita bersama dengan siswa kelas lima tadi pagi, Ritha teringat semua yang sempat ia alami dalam masa kanak-kanaknya.

Masa lalu, yang secara tidak langsung telah membuatnya menjadi seperti saat ini.

"Besok kamu ngajar lagi?"

Pertanyaan Helma berhasil membuatnya tersentak. Sebelumnya dia mengira Helma telah kembali ke rumah Pak Ketut untuk beristirahat.

Biasanya, Helma akan segera meninggalkan posko setiap tidak ada lagi yang perlu dikerjakannya. Ritha mendongakkan kepala agar dapat melihat Helma.

Ritha mengangkat kedua ujung bibir begitu melihat dua gelas white coffee yang dibawa Helma dalam sebuah nampan.

"Selama masih ada waktu buat ngajar, kenapa harus bolos?"

"Kamu nggak capek, bukannya seharian ini kamu penuh ngajar? Pagi di sekolah, siang sampe sore di klinik?" Helma meletakkan kopi itu tepat di depan Ritha.

Ritha kembali tersenyum. Ia hanya sedikit tidak percaya bahwa rekannya itu bisa melakukan hal seperti ini. Berada di lokasi KKN sepertinya berhasil memudarkan sifat manja Helma. Sejak awal, Ritha bisa melihat bahwa Helma bisa merubah sikapnya.

"Kamu sendiri nggak capek? Kamu belum pulang ke rumah Pak Ketut setelah ke sekolah tadi pagi, kan? Kamu juga ikut mendampingi anak-anak di klinik?" Ritha mengambil kesimpulan setelah melihat Helma belum mengganti kemeja.

"Bahkan kamu sekarang merangkap sebagai waitress warung di depan?" goda Ritha, berhasil membuat Helma tersenyum tawar.

"Sorry. Saya cuma bercanda. Sebenarnya, kalau kamu menikmati apa yang kamu kerjakan, kamu nggak bakalan capek. Bagi saya, anak-anak itu sumber energi. Saya justru merasa tidak bersemangat, kalau tidak melihat mereka."

Helma hanya mengangguk kecil, kemudian memilih untuk diam. Ia meniup kopi yang ada dalam genggamannya, kemudian menyerumputnya perlahan.

"Saya kira kamu sudah balik duluan ke rumah Pak Ketut."

Helma sebenarnya sempat risih karena hingga pukul tujuh malam ini, dia belum juga mendapat kesempatan untuk mengguyur tubuh dengan air. Tidak biasanya dia bisa menahan keringat dan debu yang menempel di kulitnya.

Sandy yang didaulat oleh Ritha untuk menjadi tukang ojek pribadi Helma, sudah sempat mengajaknya pulang mendahului. Tapi, dia merasa ada yang mengganjal di hatinya. Ada sesuatu yang ingin dibicarakannya dengan Ritha.

"Temen-temen belum mau pulang kalau kamu masih di posko. Mereka lagi nongrong di warung depan." jawab Helma.

Dia tidak berbohong. Mereka memang sedang menunggu Ritha. Dan Helma beruntung, karena sikap teman-temannya tersebut bisa digunakan sebagai tameng agar bisa mengulur waktu untuk menyampaikan kegundahannya. Masih ada gengsi, meskipun tidak sebesar sebelumnya.

Sekilas, Ritha melirik jam dinding, jarum pendeknya telah melewati angka tujuh. "Jadi sejak tadi kalian belum pulang? Belum mandi? Belum makan?"

Helma mengangguk ringan.

"Memangnya kamu sudah?"

Ritha kembali hanya menjawab dengan tawa kecil.

"Oya, aku boleh tanya sesuatu?"

Ritha urung meneguk kopinya. Dia kembali meletakkan gelas di atas meja. Helma terlihat tidak biasa hari ini.

"Boleh?" Helma kembali mengulang pertanyaannya, setelah beberapa saat Ritha hanya diam.

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now