Yang Tersembunyi

41 4 0
                                    

Pukul 05.00 WITA.

Alarm berhasil memaksa Ritha untuk membuka mata, meskipun sebenarnya ia baru tidur selama tiga jam. Karena harus menemani Helma menyelesaikan anggaran dana, dia terpaksa mengurangi jam istirahatnya.

Ritha duduk di tepi tempat tidur, menghapus kantuk yang tersisa. Diperhatikannya Mia dan Kikan yang masih pulas di balik selimut tebal mereka. Ritha tidak tega jika harus membangunkan mereka. Di tempat tidur sebelah, Helma juga terlelap. Boneka dolphin ada dalam pelukannya.

Melihat boneka itu, Ritha teringat pada Jimmy. Ritha tahu betul bahwa boneka itu adalah hadiah ulang tahun yang diberikan Jimmy untuk Helma setahun yang lalu. Ritha sempat membantu Jimmy membungkusnya, sekaligus menuliskan sebuah kartu ucapan di dalamnya.

"Ini hadiah untuk adik perempuan saya," terang Jimmy begitu Ritha menyipitkan sebelah mata, menyelidik wajah bosnya tersebut ketika dia tiba-tiba datang ke tempat bimbel dengan membawa boneka lumba-lumba. "Kamu nggak percaya? Memang bukan adik kandung. Kapan-kapan saya kenalkan ke kamu."

Jelas ada sesuatu yang disembunyikan Jimmy, tapi Ritha memilih untuk menurut. Tidak mungkin ia memaksa Jimmy menjelaskannya lebih jauh. Jimmy tetaplah atasannya.

Kemarin sore, Jimmy kembali menghubunginya. Dia mengetahui sesuatu tentang Jimmy, yang mungkin belum diketahui oleh Helma. Ritha bisa saja mengatakan semua pada Helma, tapi dia sadar bahwa tidak seharusnya dia mencapuri urusan mereka.

Jimmy pria yang baik. Dia sudah dewasa. Dia bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang. Dia pasti tahu konsekuensi dari apa yang telah dilakukannya. Lagipula, Ritha bisa melihat bahwa Jimmy menyayangi Helma dengan tulus. Kalau tidak demikian, Jimmy tidak mungkin selalu menanyakan kabar Helma kepada dirinya.

Merasa sudah sadar sepenuhnya, Ritha beranjak hendak menuju ke dapur. Begitu membuka pintu, udara dingin menyeruak masuk, berhasil membuatnya refleks mendorong pintu itu kembali. Jaket saja tidak cukup.

Ritha mengambil syal yang digantung di balik pintu, kemudian melingkarkannya pada bagian leher. Tidak hanya mengambil kaos kaki, Ritha juga mengenakan sarung tangan rajutnya. Setidaknya semua itu bisa membantu menghangatkan tubuh. Tadi, dia sempat mendengar suara Pak Ketut dan Bu Ketut dari arah dapur. Mereka pasti sudah bangun. Ritha tidak enak jika tidak segera menghampiri mereka.

Dengan usaha keras, Ritha bisa menerobos dingin. Meskipun kakinya seperti membeku dan sukar digerakkan, dia tetap bisa sampai di dapur untuk menemui Bu Ketut.

"Ye, kenapa sudah bangun?" Bu Ketut meletakkan kembali kayu bakar yang belum sempat dimasukkan ke dalam tungku. Ritha mengembangkan senyum, kemudian berdiri tepat di sebelah tungku. Dia membuka lebar jari-jari tangan, kemudian mendekatkannya pada api. "Dingin Bu, mau cari yang hangat," sahutnya.

"Memang kalau musim kopi, udaranya dingin sekali," jelas Pak Ketut yang tiba-tiba telah berdiri di pintu dapur. Sebuah pisau besar ada dalam genggaman tangan kirinya. Sementara tangan kanannya membawa sebuah batang pisang yang masih muda. "Ini untuk sayur ares."

"Suka ares?"

"Iya Bu..., saya bahkan suka sekali dengan ares," jawab Ritha jujur.

Ia teringat akan ibunya yang akan memotong sebatang pisang kemudian mengolahnya menjadi sayur.

"Maaf, kondisi di desa memang begini. Makan seadanya," tambah Pak Ketut.

Ritha merasa tidak enak. Kenapa justru Pak Ketut yang meminta maaf? Padahal dia dan teman-temannya yang telah banyak merepotkan Pak Ketut dan keluarga.

"Justru kami yang seharusnya minta maaf, Pak! Bapak dan keluarga di sini jadi tambah sibuk ngurus kami."

"Ah, tidak apa. Anggap saja rumah sendiri. Kalau mau masak sendiri, silakan dipakai saja apa yang ada. Jangan sungkan-sungkan." Bu Ketut melemparkan sebuah senyum kepada Ritha. "Lagipula ibu sudah lama pingin punya anak perempuan," tambahnya.

Dingin yang tadi sempat menguasai dirinya mendadak hilang entah kemana. Perlakuan yang diberikan oleh Bu Ketut dan keluargnya terasa begitu hangat. Rieta bahkan tidak dapat mengingat kapan terakhir kali, dia merasakan hal yang sama saat bersama dengan keluarganya. Atau mungkin, dia memang belum pernah melihat ibu yang membesarkannya tesenyum setulus itu. Ah, rasanya dadanya sesak jika harus mengingat semua.

"Masih dingin?"

Ritha menggeleng. Dia menarik nafas panjang. Ada hal yang ingin sekali diucapkannya kepada Bu Ketut."Kalau begitu, apa boleh saya memanggil Ibu dengan Meme?"

Bu Ketut sekilas memandang suaminya, belum menyangka bahwa Ritha ingin memanggilnya sama seperti anak di Bali memanggil seorang ibu.

Memiliki Gede sebagai anak tunggal tidak jarang membuat Bu Ketut rindu memiliki seorang anak perempuan yang bisa membantunya di dapur.

"Iya, panggil Meme saja."

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now