Keluarga

51 4 0
                                    

Anak-anak berseragam putih-merah itu tengah bersiap-siap untuk berperang di halaman sekolah. Mereka seperti tidak peduli pada debu yang bergerak liar saat sepatu mereka berpadu dengan tanah.

Keringat mulai bercucuran. Kemeja putih mereka tidak sebersih ketika pelaksanaan upacara bendera hari Senin. Saat ini, yang terpenting bagi mereka adalah memenangkan permainan.

Sudi, Widana, dan belasan anak lainnya membagi diri menjadi dua tim. Pak Dimas, guru sejarah yang pandai menceritakan isi buku dengan bahasa yang mudah dimengerti, ternyata berhasil membuat anak-anak itu selalu mengingat sejarah dengan baik.

Sejak mendapat materi tentang Perang Dingin, mereka begitu suka menggunakan blok barat dan blok timur sebagai nama timnya. Mereka merasa keren setelah meniru apa yang sempat terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet.

"Cuma main benteng, kita pasti menang!" seorang anak perempuan yang tampak paling bersemangat itu tengah mengatur strategi, sekaligus membakar semangat anggotanya. Dia berusaha memberikan motivasi kepada teman-temannya, menghimpun kekuatan untuk mengalahkan kelompok lawan.

Dia berbisik kepada Sudi, menunjuk lawan main di seberang "Nanti, kamu jaga Widana, ya!"

Sudi mengangguk tanda mengerti. "Kita pasti menang!"

Dalam permainan benteng ini, masing-masing kelompok bertanggung jawab untuk menjaga sebuah batu bata yang diumpamakan sebagai benteng. Tidak ada batas waktu yang ditetapkan. Pemenangnya adalah kelompok yang lebih dulu berhasil menginjak batu bata milik lawan. Oleh karena itu, setiap tim tidak hanya dituntut memikirkan strategi untuk bertahan, tetapi juga menyerang. Kekompakan juga menjadi salah satu poin penting dalam permainan ini.

"Santai! Pasti menang!" Sudi yang sejak tadi sudah tidak sabar memulai permainan berusaha meyakinkan kemenangan yang akan segera mereka raih. Sejak tiga hari yang lalu, mereka selalu menang. Kalaupun ada piala bergilir yang disediakan, mereka telah menjadi pemilik tetap.

Sebenarnya, Ritha tidak hanya ingin membawa kelompoknya menang. Dia juga ingin menunjukkan pada sahabatnya, Bagas, bahwa dia bukan anak perempuan yang lemah.

Baik di panti asuhan, ataupun di sekolah, Ritha sering menghabiskan waktu bersama dengan Bagas. Secara akademik, mereka bersaing secara sehat. Nilai mereka tidak pernah terpaut jauh, meskipun memang, Ritha lebih sering mengunggulinya. Hanya sekali, saat kenaikan kelas empat, Bagas berhasil menjadi juara pertama. Bersaing tidak berarti harus merusak hubungan persahabatan diantara keduanya, kan?

"Woi, sudah siap, Mbok?" Suara Bagas yang terdengar itu justru semakin membakar semangat Ritha. Ritha tidak akan menyerahkan kemenangan ini begitu saja. Bagaimana pun, ia memiliki kepercayaan diri yang kuat. Ritha memang selalu seperti itu. Saat yakin pada sesuatu, dia akan selalu merasa optimis. Dan kali ini, Ritha yakin bisa mengalahkan Bagas dan teman-temannya.

"Serbu!"

***

Semua anak ingin hidup bersama dengan keluarganya. Kecupan hangat yang dapat menghantarkan mereka ke alam mimpi, belaian lembut yang menenangkan adalah hal yang selalu dirindukan. Ritha dan Bagas juga merasakan hal yang sama. Namun sayang, mereka tidak seberuntung anak-anak lain yang memiliki keluarga yang utuh.

Bagas bahkan tidak pernah tahu siapa kedua orangtuanya. Dia tidak pernah melihat gambar ayah dan ibunya, bagaimana cirri-ciri fisik mereka. Seseorang yang begitu berharga di masa balitanya, yang masih bisa diingatnya hingga saat ini adalah Bu Manik. Sosok salah satu pengasuh berhati lembut dan penyayang itulah yang selalu membuat Bagas merasa aman. Baginya, Bu Manik adalah ibu terbaik yang pernah ia kenal.

Sedangkan Ritha kehilangan kasih sayang kedua orangtua kandungnya tepat di hari pertamanya menjadi siswa Taman Kanak-Kanak. Ia masih bisa mengingat, bagaimana ayah dan ibunya begitu bersemangat mengantarnya pergi ke sekolah. Meskipun saat itu Ritha merasa takut harus berhadapan dengan lingkungan baru, dia merasa nyaman karena mereka ada untuknya.

Tragisnya, sepeda motor yang dikendarai oleh ayahnya ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan. Suara benturan yang keras juga teriakan ibunya seringkali masih bergaung di indra pendengarannya. Ritha adalah satu-satunya yang selamat. Dia beruntung, tidak mengalami benturan yang keras karena berada dalam pelukan ibunya.

"Kamu mau punya orangtua baru?"

Ritha menghentikan langkah. Tidak jauh lagi, mereka akan sampai di panti asuhan. Rekan-rekan mereka yang juga adalah penghuni panti sudah berjalan mendahului sejak tadi. Mereka pasti sudah tidak mampu menahan lapar.
"Maksudnya?"

Bagas memebenahi tali tas selempangnya. "Kata Bu Manik, aku bakalan punya orangtua baru."

"Orangtua angkat?"

Bagas mengangguk, kemudian berjalan mendahului Ritha. Sementara Ritha masih membisu. Dia ingat bagaimana satu per satu teman-temannya meninggalkan panti asuhan karena diadopsi oleh keluarga yang merindukan kehadiran seorang anak. Setelah pergi, mereka tidak pernah kembali lagi ke panti. Ritha mendadak merasa takut kalau benar Bagas akan memiliki orangtua angkat, mungkin saja dia tidak akan pernah bertemu Bagas lagi.

"Kalau kamu diangkat jadi anak, kamu pindah sekolah?"

"Mana aku tau," jawab Bagas polos. Mereka sudah kelas enam SD, sebentar lagi akan mengikuti ujian. Tanggung rasanya kalau Bagas harus pindah sekolah.

"Mungkin aku dijemput setelah kelulusan."

"Kalau gitu, kamu nhgak usah lulus aja. Supaya kamu nggak pernah pergi."

Sepatu lusuh Bagas berhenti bergerak. Dia memutar badan, lalu memandang Ritha.

"Bu Manik bilang, kamu juga bakal punya orangtua baru. Kita akan punya keluarga baru."

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now