Hello, Memory Ketujuh!

58.7K 4.3K 127
                                        

7

PENGGANGGU


Jangan jadi pendendam dan jangan juga suka memendam. Keduanya akan sama-sama menimbulkan kesakitan nantinya.

Jika sesuatu menyakiti hatimu, maafkanlah. Dan jika sesuatu mengusik hatimu, ungkapkanlah.

Halah, begitu mudahnya kata-kata yang disusun, namun tetap saja praktiknya tak akan semudah berkata. Memaafkan dan mengungkapkan, adalah kedua hal yang bila sudah terlalu lama mengendap di dalam hati akan sulit dilakukan.

Dewa mungkin bisa saja langsung mengutarakan perasaannya kepada Maura. Tetapi, tidak semudah itu ia mau lakukan. Bukannya takut atau pengecut, hanya ingin merasakan bagaimana indahnya saat lebih jauh lagi terpaut pada pesona dan kepribadian Maura yang mengagumkan.

Mereka selalu dekat. Sebatas teman atau sahabat. Maka Dewa pun memutuskan untuk memendam perasaannya. Setidaknya itu lebih baik daripada menjadi pendendam, kepada kedua orangtuanya.

"Yuk!" Seperti kebiasaannya, Dewa akan menunggu Maura di depan pintu kelasnya saat jam pulang sekolah tiba. Mengabaikan mata-mata yang memandang mereka penuh rasa penasaran.

Rumor tentang putusnya hubungan Dewa dan Luna sudah tersebar hampir ke seluruh telinga anak kelas 12. Dan diantara rumor tersebut, rumor hadirnya Maura sebagai orang ketiga adalah yang paling mengganggu Dewa.

"Dewa, lo duluan aja, deh," kata Maura ketika sudah berdiri di depan Dewa.

Sambil mengunyah permen karetnya Dewa menaikkan kedua alisnya. "Mulai terpengaruh sama orang-orang nggak ada kerjaan tukang gossip itu?"

Maura menggeleng sambil memutar matanya. "Gue nggak peduli apa yang mereka bilang." Meskipun sebenarnya Maura sering muak dengan tatapan sinis Mia tiap kali melihatnya bersama Dewa.

Demi apapun, apa hidup kalian sebegitu nggak menariknya sampai mau ribet-ribet mikirin hidup oranglain? batin Maura tiap kali mendapati tatapan sinis Mia dan komplotan cewek cantik lainnya yang doyan dandan itu.

"Tapi hari ini gue mau pulang bareng Nando," lanjut Maura.

"Ada urusan apa?"

"Kita aja setiap hari pulang bareng nggak perlu harus ada urusan dulu, kan?"

"Karna memang kita biasa bareng. Tapi kalau lo sama Nando?" Dewa mengangkat bahunya. Matanya melirik Nando yang saat ini berjalan mendekat ke arah mereka. "Ini jelas patut dipertanyakan."

Maura hanya tertawa menanggapinya. Selalu saja menganggap Dewa konyol. Sedangkan Dewa selalu menganggap Maura spesial.

"Udah ah, minggir, jangan berdiri di depan pintu, nanti susah dapet jodoh." Setelah mendorong tubuh Dewa, Maura melambaikan tangannya kepada Dewa kemudian berjalan diikuti Nando.

Dewa hanya mampu menatap keduanya sambil tersenyum miris. Sambil bertolak pinggang ia membatin, ternyata menyimpan perasaan sama beratnya dengan menyimpan dendam. Bahkan yang ini bisa lebih sakit.

"Woy, kunyuk!" Rombongan cowok dengan sepatu futsal beraneka macam warna yang baru mereka ganti dari sepatu wajib sekolah berwarna hitam datang merangkul bahu Dewa. "Hayuk, futsal, atuh!"

"Hayuk, Wa. Suruh Maura nonton lagi, ya," kata cowok berbadan kurus sambil mengedipkan matanya penuh harap.

"Aduh, sorry nih, fans. Absen dulu deh, ya. Sepatu gue ilang lagi tadi di masjid." Dewa menangkup kedua tangannya di depan dagu sambil memasang ekspresi melas. Tapi, teman-temannya tak semudah itu percaya pada triknya kali ini.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now