Hello, Memory Ketigapuluh Tiga!

41.3K 4.2K 532
                                        


33

ARTI SEBUAH MENUNGGU


Padahal besok senin ujian sekolah sudah dimulai, tapi Maura malah tak semangat belajar. Tidak seperti dirinya yang biasa, akhir-akhir ini Maura malah lebih banyak memikirkan cinta daripada pelajarannya.

Berkat gebrakan dari Nando, Maura akhirnya sadar sepenuhnya kalau yang selama ini dicintainya bukanlah Nando. Tapi Dewa.

Sejak awal selalu Dewa.

Mungkin saking sayang, nyaman dan cintanya, Maura sampai enggan menyadari perasaannya itu dan mengungkapkan pada Dewa. Karena prinsipnya sendiri: kalau udah putus nggak bisa balikan lagi. Itu yang akhirnya Maura sadar bahwa selama ini yang dia takutkan adalah jika akhirnya nanti dia bisa berpacaran dengan Dewa kemudian putus, semua tak akan sama seperti sekarang lagi.

Maura begitu takut kehilangan Dewa. Maura amat sangat menyayangi Dewa. Maura takut semuanya akan berubah.

Selalu se-klise itu. Pemikiran Maura selalu se-kolot itu. Terlalu banyak perkiraan. Terlalu banyak pertimbangan.

Tapi mulai sekarang, Maura tidak mau lagi seperti itu. Mulai sekarang dia ingin mengedepankan apa kata hatinya. Merobohkan prinsip-prinsipnya. Mengenyahkan asumsi-asumsi tak pastinya.

Maura akan memberanikan diri untuk gantian menggapai Dewa. Mengejarnya. Bahkan jika harus menunggu.

***

Baru saja ingin berangkat ke rumah Dewa, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan dari Galih. Sambil mengerutkan keningnya, Maura kemudian mengangkat teleponnya.

"Halo," sapa Maura.

"Halo. Kamu di mana, Ra?"

"Di rumah sih... tapi mau keluar. Ada apa, Kak?"

"Oh mau keluar ya? Hmm gapapa sih, tadinya mau ngajakin keluar."

Maura diam sejenak. Mulai terbiasa dengan pendekatan terang-terangan dari Galih yang kian hari kian gencar.

"Maaf, Kak, nggak bisa. Saya ada urusan penting."

Iya, Dewa memang lebih penting untuknya.

"Okey no problem. Next time masih bisa kan." Galih tertawa kecil. Tapi Maura tidak. Sekarang, nanti atau lain kali, sepertinya jawabannya tetap akan sama. Maura hanya ingin fokus pada Dewa.

"Yaudah kalo gitu saya tutup ya, Kak, mau berangkat nih," ujar Maura, ingin lekas menyudahi percakapan.

"Okey take care ya kamu."

Maura cuma mengucapkan terimakasih lalu memutuskan sambungan. Napasnya dihembuskan panjang. Maaf, Kak Galih, walaupun saya memang mirip mantan pacar Kak Galih, tapi saya tetep bukan dia. Perasaan saya juga bukan kayak dia. Perasaan saya cuma buat Dewa. Batinnya lalu segera keluar rumah dan mengendarai motornya.

***

Tiba di rumah Dewa, sayangnya Maura harus menelan kekecewaan karena mobil Dewa tidak terparkir di sana. Tapi tidak ingin cepat menyimpulkan, Maura tetap turun dan mengecek langsung ke dalam. Begitu pintu rumah dibuka oleh Bi Warni yang kini sudah bisa hafal dengan nama Maura, Maura pun masuk dan menunggu di ruang tamu.

Sementara Bi Warni menelepon Dewa, Maura menunggu sambil memperhatikan piano yang terletak di ujung ruangan. Seketika senyumnya langsung mengembang. Maura memang tahu kalau Dewa suka bernyanyi dan bermain musik. Tapi satu kali pun Maura belum pernah melihat Dewa memainkan piano, dan membayangkan Dewa duduk sambil menekan tuts-tuts itu lah yang membuat senyuman Maura mengembang.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now