Hello, Memory Kedelapanbelas!

46.6K 3.7K 335
                                        


18

SAKITNYA JATUH CINTA

Maura dan Galih sampai di mal tujuan mereka pukul dua belas siang. Maklum, perjalanan jauh ditambah macetnya Jakarta.

Mereka langsung menuju tempat ice skating. Karena ini adalah akhir pekan, alhasil antrian masuknya pun mengular panjang. Sambil menunggu giliran sesi mereka, Galih mengajak Maura jalan-jalan keliling mal.

Hari ini Galih tidak mengenakan pakaian formal seperti di sekolah. Ia hanya mengenakan kaos merah dan celana levis hitam panjang. Penampilan casualnya ini tetap saja tidak mengurangi kadar ketampanannya.

Meskipun usia mereka terpaut sekitar delapan tahun, tetapi ketika keduanya berjalan berdua dengan outfit casual seperti ini, tak ada yang bisa menebak berapa selisih usia mereka. Mereka nyaris terlihat sepantaran. Mungkin akan lain ceritanya jika Galih mengenakan pakaian seperti di sekolah, mungkin akan jelas terlihat perbedaannya.

"Pak Galih kalo pulang ke rumah berapa kali sebulan?"

Galih yang berjalan dengan sebelah tangan yang masuk ke saku celana menoleh sekilas lalu menjawab, "Jarang. Kadang satu kali, kadang nggak pulang dalam satu atau dua bulan."

"Hah? Padahal deket lho."

"Deket juga kalo pulang jarang ada orang di rumah buat apa?"

"Oh, iya pasti pada sibuk, ya," balas Maura jadi sedikit tak enak telah menyinggung hal-hal sensitif tentang keluarga.

"Kalo hari minggu gini sih biasanya Mama ada di rumah. Kamu mau sekalian mampir ke rumah saya?"

Maura langsung menggeleng-geleng cepat sambil menggerakan tangannya mengisyaratkan penolakan. Dia jadi semakin tak enak. "Nggak, Pak, nggak usah. Bukan maksud saya gitu."

Galih tertawa kecil. Semakin membuat beberapa wanita yang berjalan di sekitar mereka menatapnya kagum. Karena ketampanannya.

"Kok jadi langsung takut gitu ketemu Mama saya? Kan udah kenal," kata Galih.

"Bukannya takut. Tapi...."

"Iya iya paham." Galih memotong. "Oh iya, umur saya baru 26, kalo di luar sekolah jangan dipanggil 'Pak' dong ya?"

Maura membuka matanya lebar. Ini adalah langkah lain menuju pendekatan. Maura sadar itu.

"Panggil 'Kak' aja lah. Atau 'Mas' atau 'Sayang' juga boleh." Galih tertawa. Sementara Maura mulai membunyikan sirine peringatan di kepalanya. "Bercanda kok," kata Galih lagi.

Di depan Galih, Maura hanya bisa tersenyum. Sepanjang sejarah hidupnya, ia belum pernah didekati oleh guru. Guru-guru sekolahnya selama ini tidak pernah ada yang semuda dan setampan Galih.

"Jadi panggil 'Kak' aja, ya? Okey?" pinta Galih lagi. "Biar saya nggak keliatan tua-tua banget. Biar lebih akrab juga."

Maura pun hanya bisa mengangguk sambil tersenyum lalu mengalihkan pandangannya lagi ke objek lain.

Lama-lama Maura jadi khawatir. Jujur saja, siapapun yang ditatap Galih seperti ini, apalagi dengan senyum dan mata tajam indahnya, pasti akan langsung gugup. Begitu juga dengannya.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now