Hello, Memory Ketigabelas!

52.7K 3.9K 738
                                        

13
AKU BISA APA JIKA CINTAKU BERAT PADANYA?

Sudah cukup lama keheningan antara Dewa dan Maura terjadi. Bahkan sampai Kay hampir selesai menggunting rambut Nando. Namun baik Dewa maupun Maura masih setia pada posisinya sejak tadi. Dewa yang berlutut di depan Maura sambil memijat kakinya, Maura yang memandangi Dewa dengan debaran kencang di dadanya.

Maura memang tidak terlalu peka dengan cinta, Maura memang sudah dicukupkan dengan cinta dari keluarga, sahabat dan oranglain padanya. Maka untuk debarannya kali ini pun Maura bingung harus menafsirkannya sebagai apa.

Apakah hanya keterkejutan atau... tanda hatinya telah jatuh pada Dewa?

Persahabatannya dengan Dewa selama ini seolah membuat Maura sulit meraba-raba perasaan apa yang ia miliki kepada Dewa.

Dewa baik. Sangat baik. Dewa bukan remaja kebanyakan yang tak disukai Maura. Dewa pintar. Dewa patut dijadikan contoh. Dewa hebat, caranya memandang hidup dan oranglain selalu Maura jadikan contoh. Apalagi dengan sifat dan sikapnya dalam menghadapi keadaan keluarganya.

Dewa itu seperti nyaris sempurna, batin Maura.

Dan untuk seseorang yang nyaris sempurna seperti Dewa, Maura seolah merasa kalau dirinya masih tidak pantas jika memiliki harapan bahwa Dewa mencintainya.

Ah, Maura selalu menampiknya. Tidak mungkin. Dewa pasti hanya menganggapnya sahabat. Tidak mungkin lebih.

Kebaikan seseorang kepada kita nggak bisa melulu kita artikan kalau dia punya rasa sama kita. Siapa tau emang dia baiknya tulus, kan?

Maka Maura pun jadi sulit menegaskan apa perasaannya pada Dewa. Terkadang Maura merasa kalau sepertinya hatinya tertarik dengan Dewa, karena sikap-sikap kecil nan manis dari Dewa. Namun terkadang ia mengelak lagi perasaannya, lalu hilanglah kembali perasaan itu.

Begitu terus. Maju mundur terus.

Dan perasaan seperti itu Maura rasakan bukan hanya kepada Dewa. Tapi juga kepada... Nando.

Entah kenapa Maura juga bingung, dirinya ini benar-benar telah banyak berubah. Semenjak kepindahannya ke Bogor. Hidupnya pelan-pelan berubah. Tidak lagi membuatnya seperti Maura yang dulu.

Sejak dulu Maura tidak pernah jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Baginya mencintai sabahat itu hanyalah perasaan gamang yang abu-abu. Karena sebenarnya perasaan itu hanya perasaan sayang yang timbul karena kedekatan intens sebagai sahabat. Bukan cinta yang sebenarnya.

Tetapi semenjak bertemu dengan Dewa dan Nando, Maura seolah mematahkan argumennya selama ini. Ia seolah akhirnya berkata, ternyata bener lho... jatuh cinta sama sahabat sendiri itu emang bisa terjadi.

Namun lagi-lagi, selalu dan setiap hari, Maura berusaha meyakinkan dirinya dan hatinya bahwa perasaan yang dirasakannya pada Dewa dan Nando bukanlah cinta. Sehingga akhirnya kini Maura pun bingung pada siapa sebenarnya ia mencintai? Cinta mana yang sesungguhnya?

Saat Maura sibuk dengan pikiran di kepalanya itu, Dewa tiba-tiba mengangkat kepalanya. Mempertemukan tatapan mereka. Yang tanpa diduga membuat debaran jantung Maura bertempo dua kali lipat dari sebelumnya.

Dewa berhenti memijat kakinya. Kedua tangannya berada di atas lutut Maura. Dan ia menatap Maura bukan seperti tatapannya yang seperti biasa.

Tidak ada pancaran canda di matanya. Tidak ada senyum konyol di bibirnya. Tidak ada alis nakal yang dimainkannya.

Semuanya berbeda seperti biasanya.

Dan Maura tidak mampu mengartikan keseriusannya.

"Ra..." Saat suara Dewa keluar memanggil namanya, Maura sesaat menarik napasnya panjang.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang