02. Astaga

482 31 0
                                    

Hari ini sekolah kami ngadain rekreasi ke hutan hujan tropis terbaik di Indonesia. Selain untuk rekreasi, kami juga dapet tugas untuk membuat laporan tentang tempat tersebut. Sebenarnya aku suka petualangan, banget bahkan. Aku suka menjelajah, aku suka mendaki, dan aku suka petualangan di tempat-tempat seperti ini. Tapi untuk kali ini, hanya untuk kali ini aja, aku nggak suka.

Aku bener-bener lagi nggak mood untuk mengikuti acara ini. Alasannya, capek. Beberapa hari yang lalu aku baru aja dari Surabaya, adiknya mamaku punya hajatan mantu. Habis itu, kami langsung terbang ke Bali, untuk nganterin kakakku yang di pindah tugaskan ke sana oleh perusahaan tempatnya bekerja. Trus, klub pecinta alam baru aja ngadain pendakian dan aku baru aja balik ke rumah kemarin sore. Dan sekarang, aku harus ikut acara kayak gini. Astaga, tenagaku serasa habis!

"Ki, dah nyampe tuh," aku merasakan Fifi menggoyang-goyangkan bahuku. Aku membuka mata dengan malas.

"Oke," jawabku ogah-ogahan.

"Bagi rombongan yang udah sampai, segera turun dari bis dan berkumpul bersama kelompoknya masing-masing!" suara pak Abdul dari mega phone terdengar menggelegar. Aku segera meraih tasku lalu menggerakkan tubuhku turun dari bis dengan malas. Tampak rekan-rekan satu kelompokku udah turun duluan. Mau tahu siapa aja kelompokku? Ahai, kayak biasanya. Fifi, Olla, Jihan 'n Sonya. Kebetulan? Hah, tentu aja enggak. Fifi punya koneksi kuat untuk bisa ngatur-ngatur personil kelompok seenak jidatnya dia! Kan udah aku bilang, ortunya tuh tajirnya selangit.

"Jihan mana?" tanya Sonya. Aku menatap sekeliling dengan tatapan setengah menyipit.

"Nggak tahu, tadi udah turun duluan kok," jawabku.

"Siapkan buku kalian dan segera pergi ke pos pertama yang telah di tentukan tadi!" pak Abdul kembali berteriak. Aku menatap sobat-sobatku dengan datar.

"Yuk, segera berangkat biar bisa cepet pulang," aku melangkah.

"Nggak nunggu Jihan?" tanya Fifi. Aku menggeleng.

"Kayaknya tadi aku sempat lihat dia gabung di kelompoknya Bagus. Jadi, segera aja kita berangkat 'en ketemuan dengannya di pos pertama," ucapku yakin.

Ya, tadi aku emang sempat lihat Jihan turun duluan dari bis lalu gabung dengan kelompoknya Bagus. Bagus dan Jihan adalah sahabat sejak kecil. Mereka sangat akrab. Dan kayaknya Bagus adalah satu-satunya cowok yang kebal dengan semua komplain yang keluar dari mulut Jihan.

"Oke deh, Yuk," kami melangkah.

"Well, apa yang mesti kita catat? Pohon paling tua? Pohon paling muda? Monyet paling cakep? Atau ... bla bla bla bla," sepanjang perjalanan itu aku hanya mengomel dan mengomel. Kayaknya gelar miss komplain dari Jihan bakalan jatuh ke tanganku deh!

"Kok Jihan tetap nggak ada sih?" Sonya seakan mengingatkan. Dan, emang iya. Nyaris sepanjang perjalanan kami nggak melihat batang hidung cewek tersebut.

"Jangan-jangan dia tersesat?" ucap Fifi. Aku mendelik. Bayangan Jihan yang tersesat di dalam hutan seakan membuatku terjaga dari tidur.

"Jangan nakut-nakutin deh," jawabku grogi.

Dan, firasat itu emang bener. Sepanjang kegiatan kami nggak ketemu sama Jihan. Hingga akhirnya kami melaporkan ini pada pak Abdul. Dan diperoleh-lah kesimpulan : Jihan ilang!

Suasana rekreasi yang tadinya ceria berubah mencekam. Kami semua gelisah, resah. Pak Abdul bahkan sudah meminta tim SAR untuk membantu pencarian Jihan. Tapi sampai sore, sosok itu tak bisa ditemukan.

"Gimana ini? Kenapa Jihan belum juga ketemu?" tanya Fifi cemas. Aku membisu, sama cemasnya.

"Tadi di dalam bis, Jihan duduk sama siapa?" pak Abdul bertanya. Tak ada yang menjawab.

"Trus, yang terakhir yang ngelihat dia siapa?" beliau bertanya lagi. Dan tetap tak ada yang menjawab.

Pak Abdul ganti menatap ke arahku.

"Ki, kamu sebagai ketua kelas, kamu bener-bener udah ngecek keberadaan rekan-rekan sekelasmu 'kan?"

Aku mengangguk.

"Dan apakah kamu yakin kalo dia hadir?" pertanyaan pak guru yang satu ini sempat membuatku ragu. Tapi aku kembali mengangguk.

"Dia tadi pakai baju atasan biru muda dengan celana jeans belel warna senada. Topi warna hitam dan tas ransel besar warna abu-abu. Persis kayak yang dipakai sama Lena," jawabku seraya menunjuk ke arah Lena. Kaos, celana, topi dan juga tas yang sama. sama!??

Wait!

Jihan punya body yang sama dengan Lena. Tingginya sama, langsingnya sama, rambut ikal yang dipotong sama, warna kulit yang sama, tak heran kalo mereka bahkan pernah dianggap sebagai saudara.

Apa mungin mereka udah janjian untuk pake baju 'en asesoris yang sama? Atau, aku yang salah absen? Atau, aku yang salah lihat? Atau, ...

Pertanyaan di kepalaku masih semrawut dan belum menemukan titik temu ketika kami mendengar sebuah teriakan. Kami menoleh, dan suara cempreng itu datang dari Olla! Cewek imut itu menutup mulutnya dengan takut-takut.

"Kenapa sih, La. Bikin orang jantungan aja," omelku seraya melotot ke arahnya. Olla nyengir.

"Ki, zepertinya akyu baru ingat zezuatu," ucapnya, lebay kayak biasanya. Ia menyeringai sampai-sampai gigi putihnya yang berbaris rapi terlihat.

"Apaan?" tanyaku tak sabaran.

Olla kembali nyengir.

"Aku lupa bilang kalo Jihan emang nggak ikut acara rekreazi ini," ucapnya kemudian.

Jreengg! Kami melotot.

"Appaaaa???" kami berteriak, nyaris bersamaan.

"Kemarin zore dia dateng ke rumahku 'en bilang kalo dia nggak biza ikut kegiatan ini. Ia haruz ke Zurabaya mengunjungi kakeknya yang zakit. Zebenarnya dia juga nitipin zurat ijin. Tapi ... aku juga lupa membawanya, hehe," Olla cengengesan.

Aku merasakan kepalaku ditimpuk dengan batu segede bola basket. Jadi, pencarian selama berjam-jam tadi? Tim SAR yang udah banting tulang nyariin keberadaan Jihan?

"Ollaaaa..!!! kenapa kamu nggak bilang dari tadiiii??" Aku menjerit histeris bercampur kesal.

"Lha, kamu zendiri kenapa biza zalah ngabzen??" Dia protes.

Kami bersitegang.

Semua orang menatap ke arahku, lalu ke arah Olla, lalu kembali lagi ke arahku, bergantian.

Astaga, mampus gue!!

***



Selesai : 16 September 2001

Revisi : 18 Juni 2013

Dante & Kiki [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang