15. Rumit

255 28 0
                                    

Olla duduk berselonjor di karpet dengan punggung yang bersandar di sofa. Sementara aku, Fifi, Sonya dan Jihan duduk di sekelilingnya. Kami sama-sama duduk di lantai.

Seperti yang sudah kami duga sebelumnya. Olla di usir dari rumah oleh orang tuanya karena kehamilan itu. Kami menduga pengusiran itu karena emosi yang bersifat sementara. Tapi, berdasarkan emosi atau tidak, Olla sudah mantap untuk meninggalkan rumah, dengan lapang dada.

Jihan sempat mengusulkan untuk menggugurkan janinnya, tapi sebelum aku mengungkapkan keberatanku atas ide itu, Olla sudah menolaknya mentah-mentah.

"Aku akan menjadi manusia terkutuk jika aku sampai menggugurkan bayi ini. Ingat, Jei, aku sudah melakukan kesalahan fatal dengan kehamilan ini. Dan aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama dengan menggugurkannya," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.

"Jadi sekarang gimana, La?" tangis Jihan nyaris pecah.

"Joe bersedia bertanggung jawab. Jadi kami sepakat menikah secara sederhana di kantor catatan sipil. Begitu saja. Setelah itu, kami akan pergi ke Surabaya. Aku tahu ini tak akan mudah. Tapi kami sepakat untuk bertanggung jawab atas perbuatan kami dan merawat bayi ini dengan baik. Joe akan mencari pekerjaan di sana. Entah di bengkel atau di toko, yang jelas, dia akan segera mendapatkan pekerjaan. Setelah bayi ini lahir, aku juga akan segera mencari pekerjaan. Percayalah, kami pasti bisa merawat anak ini dengan baik," Olla menjelaskan panjang lebar tentang rencananya.

Dan tangisku pecah. Aku terisak.

Ya Tuhan, aku hanya tak menyangka bahwa semua akan berakhir seperti ini. Olla kami, yang lucu, yang imut, yang ceria, yang terkadang menjengkelkan, yang bercita-cita ingin jadi artis, kenapa harus berakhir seperti ini?

Olla beringsut dan menggenggam tanganku dengan erat. "Ki, percayalah padaku. Aku akan berusaha bertanggung jawab dengan perbuatanku. Ini tak mudah. Tapi yakinlah padaku bahwa aku mampu melakukannya," air mata Olla menitik.

"Kalo begitu nggak usah pergi, La. Di sini aja. Ki semua bisa kok bantu. Bantu kamu dan Joe nyari pekerjaan, nyari rumah kontrakan, ngrawat bayi kamu kalo udah lahir..."

Olla menggeleng.

"Enggak, Ki. Tolong biarkan aku melakukan hal ini dengan caraku, oke?"

Air mataku terus menitik. Lalu aku menghambur ke arah Olla dan memeluknya dengan erat. Jihan, Sonya, dan Fifi pun melakukan hal yang sama. Kami berpelukan dan menangis, bersama-sama....

Dan begitulah akhirnya, sore itu juga kami mengantarkan Olla dan Joe ke stasiun. Ternyata Joe sudah menyiapkan keberangkatan mereka ke Surabaya dengan kereta....

Dan entah kenapa, firasatku mengatakan bahwa aku telah benar-benar kehilangan Olla...

Aku pulang dari stasiun dengan perasaan remuk redam. Ketika sampai di rumah, Leo-lah yang pertama kali menyambut kepulanganku.

"Kamu nggak apa-apa 'kan ki?" ia bertanya dengan nada cemas. Aku tersenyum dan menggeleng. Ia mengikutiku sampai ke kamar. Aku meletakkan tas punggungku di atas tempat tidur lalu menghempaskan tubuhku di sofa, sofa yang biasa di tempati Leo. Kami berdiam diri selama sekian menit. Leo seperti sengaja memberikan waktu padaku untuk berpikir, merenung dan menenangkan diri.

"Sori ya, Leo. Aku nggak bermaksud mengabaikan kamu. Aku cuma sedikit ... kacau," ucapku lirih seraya melirik ke arah Leo. Cowok itu tersenyum dan manggut-manggut.

"Ki, ketahuilah bahwa ... aku juga ingin melakukan hal yang sama padamu, seperti yang dilakukan Dante, ketika kamu merasa suntuk dan perlu tempat untuk ... meredam kesedihanmu,"

Kalimat Leo membuatku tertegun. Aku mendongak dan menatap ke arahnya.

"Maksudnya?" tanyaku lirih.

Dante & Kiki [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now