20. Connection

526 33 1
                                    

Akhirnya, kami berempat kuliah di tempat yang sama. Seperti rencana semula, aku, Jihan dan Dante memantapkan diri untuk kuliah di kampus yang sudah kami idam-idamkan sejak es-em-a. Sebuah kampus terbesar di kota kami. Sementara Rangga, awalnya ia berniat mengambil beasiswa ke Universitas Indonesia, tapi karena sekarang ia pacarku, ia lebih memilih untuk mengikutiku. Dia bilang, dia akan lebih bahagia jika berada dekat dengan diriku. Romantis banget.

Kami mengambil fakultas yang berbeda. Jika aku dan Jihan tertarik untuk mengambil fakultas ekonomi, Rangga memilih fakultas hukum, sementara Dante, ia memilih berada di fakultas kedokteran.

Menyenangkan ketika lambat laun, kami mulai bisa membangun sebuah persahabatan baru antara kami berempat. Dan lebih menyenangkan lagi ketika hubungan Dante dan Rangga yang dulunya sempat dingin, kini sudah semakin membaik. Tidak akrab sih, tapi setidaknya, mereka sudah bisa saling mengobrol tanpa harus saling adu argumen.

Terkadang kami bahkan hang out berempat. Jalan-jalan ketika malam minggu, nonton film di bioskop bareng-bareng, atau bahkan sekedar nongkrong di alun-alun kota. Tidak bisa di sebut double date sih karena Jihan dan Dante kekeuh untuk tidak saling tertarik.Aku sempat terpikir untuk mencomblangi mereka, tapi Jihan berkoar bahwa, bahkan jika Dante adalah lelaki terakhir di muka bumi ini, dia tidak akan pernah bisa jatuh cinta padanya. Sementara Dante, seperti biasa, ia hanya akan menatapku dengan sorot mata yang seolah mengatakan : hentikan ide gilamu itu, selamanya!

Dante, kadang aku tak mengerti dengan dirinya. Aku bahkan sempat merasa bahwa kami sama-sama punya telepati. Selama kami kuliah, kami semakin sering berkomunikasi hanya dengan tatapan mata, walau hanya secara tak sengaja. Jelas ia bisa membaca isi hatiku, dan seolah-olah aku pun sekarang punya kemampuan untuk membaca isi hatinya. Karena itulah aku tak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan karena mengirimkan seorang sahabat yang unik dan baik seperti dia.

Aku rutin mengunjungi kak Jefry di penjara setiap sebulan sekali. Kadang di temani Jihan, kadang dengan Rangga, kadang juga di temani Dante. Kak Jefry tetap menyambut kedatanganku dengan ramah meski akulah orang yang telah menyebabkan ia di penjara. Tapi sungguh, ia tak punya dendam sama sekali denganku. Yang tetap ia tolak adalah, memberitahuku alamat Sonya yang baru. Ya, aku masih hilang kontak dengannya, sejak pertemuan kami terakhir kali di masa es-em-a. Dia sengaja menghindar dariku sehingga enggan untuk ditemukan. Itulah mengapa ia selalu mewanti-wanti pada kak Jefry agar tidak memberitahuku di mana ia tinggal sekarang.

"Tak perlu mencarinya, Ki. Dia sudah melanjutkan hidupnya dengan baik. Kamu juga, lanjutkanlah hidupmu dengan baik," itu yang selalu kak Jefry katakan jika aku menanyakan alamat Sonya dengannya. Mungkin dia memang masih marah padaku.

Aku juga belum dapat menemukan kembali keberadaan Fifi dan Olla. Mereka benar-benar hilang di telan bumi...

***

Rombongan pecinta alam kami sampai di kampus sekitar pukul 4 sore setelah menghabiskan 3 hari 2 malam melakukan pendakian ke gunung.

Dengan tas ransel yang berada di punggungku yang beratnya nyaris mencapai 10 kilo, aku turun dari kendaraan bak terbuka dengan susah payah. Ketika menapak tanah, kakiku seperti mau remuk berkeping-keping. Capek sekali.

Aku menatap ke penjuru parkiran. Mobil Rangga belum kelihatan.

"Belum di jemput Rangga, Ki?" tanya Yohan, ketua klub pecinta alam kami. Aku menggeleng.

"Mau pulang bareng aku? Kan kita searah,"tawarnya lagi. Aku tersenyum dan menggeleng.

"Nggak usah deh. Lagian aku masih ada kepentingan lain kok," jawabku. Yohan manggut-manggut seraya pamit undur diri duluan.

Aku melangkahkan kakiku melewati parkiran tersebut untuk selanjutnya menuju gedung yang berada di sebelahnya. Gedung fakultas kedokteran.

Firasatku mengatakan Dante masih ada di ruang praktek anak-anak FK. Karena memang begitulah kebiasannya.

Dante & Kiki [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now