04. Leo

437 34 2
                                    

Shit! Aku kembali mengumpat. Astaga, jadi inikah hasilnya? Dibela-belain ikut mendaki anak-anak pecinta alam, dan ini hasil yang aku dapatkan?

I lost! Aku tersesat!

Ya ampun, ini toh bukan pertama kalinya aku ikut acara kayak gini. Tapi, kenapa aku bisa ceroboh. Kenapa aku bisa terpisah dari rekan-rekanku yang lain dan sekarang, di sinilah aku! Sendirian, di tengah-tengah hutan belantara. Hape-ku mati, aku buta arah dan aku nggak tahu sama sekali wilayah ini!

"Hoei! Ada yang bisa denger aku nggak?!" aku berteriak, untuk yang ke sekian kalinya.

"Tolong! Aku tersesat!" aku kembali berteriak. Tak ada jawaban. Hanya suaraku yang bergema. Aku kembali menarik nafas panjang.

"Oke, oke, anggap aja aku lagi ngomong sama angin ... ah!" kalimatku berganti jeritan ketika tiba-tiba kakiku terpeleset dan aku terguling ke bawah lereng.

Bug, tubuhku menghantam salah satu pohon. Aku segera meringis kesakitan.

Aku menggerak-gerakkan tangan dan kakiku. Untung nggak ada yang patah. Hfftt...

Aku mendongak. Matahari mulai terbenam. Hari akan segera gelap. Aku duduk terdiam, mencoba berdamai dengan situasi. Oke, aku terima kalo aku tersesat. Tapi aku nggak akan mati di sini 'kan?

Aku meraih tasku. Persediaan air minum dan bahan makananku terbatas, jadi aku harus berhemat. Perlahan aku bangkit, dan aku mulai-mulai mencari-cari ranting kering untuk kujadikan perapian. Well, aku memang harus menginap di sini malam ini.

***

Aku mengerjapkan mataku ketika kurasakan cahaya matahari mulai menimpa wajahku. Kulirik sekelilingku, keadaan masih sama seperti kemarin. Berarti aman.

Aku bangkit. Kuraih botol minumku dan minum sedikit air dari sana. Aku juga melahap sepotong roti sisa semalam. Lumayan untuk sarapan.

Aku baru saja mengunyah potongan terakhir dari rotiku ketika tiba-tiba aku mendengar suara berisik dari semak-semak yang berada di belakangku. Segera aku bangkit dan memasang kuda-kuda kalau saja itu adalah hewan buas. Beberapa detik aku menunggu, suara gemerisik itu tak berhenti. Tapi tak ada sosok apapun yang keluar dari semak-semak itu, maksudku, belum.

"Siapa di situ? Manusia? Hewan? Atau hantu?" aku berteriak.

"Manusia atau hantu, keluarlah! Tampakkan wujudmu, aku nggak takut!" teriakku lagi. Tetap tak ada penampakan. Aku mundur beberapa langkah ketika gemerisik itu semakin menjadi-jadi. Aku menyiapkan kedua tinjuku. Aku pernah ikut kelas karate, jadi jika ada hewan buas menyerang, aku pasti bisa mengatasinya.

Dan kegelisahanku berganti takjub ketika beberapa saat kemudian, sesosok cowok jangkung muncul. Kami berpandangan, tanpa berkata-kata.

Seraut wajah yang tampan. Kulitnya agak kecoklatan karena sinar matahari, tapi, mata di bawah alis tebal itu begitu bening dan teduh. Astaga, dia tampan luar biasa.

"Siapa kamu?" aku bertanya, tetap dengan sikap waspada.

"Dan kamu sendiri, siapa?" ia balik bertanya. Dia punya timbre suara yang seksi.

"Aku yang nanya duluan, kamu siapa?" aku kembali bertanya.

"Aku juga berhak nanya, kamu siapa?" ia kembali balik bertanya.

"Kamu manusia apa hantu?"

"Dan kamu sendiri, manusia apa hantu?"

"Ya ampun, kenapa kamu selalu ngembaliin pertanyaanku?"

"Dan kenapa kamu selalu banyak nanya?" ia terlihat kesal. Aku mendesah. Sikapku berubah nyantai sekarang. Masa bodoh dia siapa, yang jelas aku lega bisa ketemu manusia.

Dante & Kiki [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now