12. Cenayang

327 29 0
                                    

Sejak pembicaraan kami di lapangan basket, aku dan Dante tak pernah lagi saling sapa. Kami memang satu kelas, tapi tak berkomunikasi. Sepertinya ia menghindariku. Dan aku juga tak punya cara untuk mengajaknya mengobrol.

Dan Leo masih terus bergentayangan di sekelilingku. Hantu keren itu nyaris menghabiskan waktunya bersamaku. Ia mengikutiku, kemanapun aku pergi. Kecuali kalo aku mandi dan ganti baju.

Aneh, aku nggak merasa risih dengan keberadaannya. Sebaliknya, aku nyaman-nyaman saja. Kami tak bisa bersentuhan karena Leo kehilangan kemampuan untuk menyentuh sesuatu (Dan kami sama-sama tak tahu penyebabnya). Tapi setidaknya kami masih bisa mengobrol. Dan itu menyenangankan.

Tapi kadang-kadang aku melarangnya ikut ke sekolah. Begitu pula pagi ini, ia mengikutiku sampai gerbang sekolah, setelah itu aku menyuruhnya pergi. Kemana aja kek. Ketemu temen-temen hantunya mungkin. Atau, nongkrong di Mall. Hahaha...

Sebenarnya aku ingin menceritakan perihal Leo pada temen-temen yang lainnya. Tapi akhir-akhir ini mereka sibuk semua. Olla masih sibuk dengan grup barunya, anak-anak punk. Sonya sedang sibuk latihan untuk pertandingan basket antar sekolahan yang digelar bulan depan. Jihan sibuk bantuin Rendi – pacar barunya - jadi panitia festival musik di alun-alun kota. Sementara Fifi, disamping sibuk pacaran dengan Rangga (Uhukkk, ini menohok jantungku!), ia juga sibuk belajar karena beberapa minggu lagi ia akan mewakili sekolah kami mengikuti olimpiade Matematika tingkat Nasional.

Padahal, lusa sekolah kami akan mengadakan pentas seni dalam rangka festival budaya dan (lagi lagi)aku bertugas sebagai seksi dekorasi. Biasanya, temen-temen akan dengan senang hati bantuin aku menata panggung. Tapi, karena mereka lagi sibuk sendiri-sendiri, oke deh, I'll do it by myself!

Langkah kakiku baru sampai di lorong pertama ketika kepalaku menghantam sesuatu ...

Aku mengaduh. Sambil memegangi keningku aku mendongak. Dan aku melihat Dante, yang juga tengah melihat ke arahku. Ternyata kepalaku terantuk bahunya.

"Sori, tapi kamu tadi jalan sambil melamun," ia membuka suara.

"Iya, sori juga. Aku emang rada melamun tadi," jawabku sambil terus memijit keningku.

"nggak apa-apa 'kan?" ia menunjuk ke arah keningku. Aku segera mengibaskan tanganku.

"I'm okay," jawabku cepat.

"Tumben dia nggak mengikutimu?" ia bertanya seraya menatap sekelilingku.

Aku ikut menatap sekelilingku.

"Ow, hantu itu maksudmu?" ucapku. "Namanya Leo," aku menambahkan.

Dante mengangkat bahu cuek. "Oke deh, terserah," Ia beranjak.

Dan aku yang berinisitif untuk mengejarnya dan menghadang langkahnya.

"Aku mau ngomong, penting," ucapku.

Dante tak menjawab. Ia melipat tangannya di dada dengan angkuh lalu menatapku, menantiku untuk mengatakan sesuatu. Aku membalas tatapannya dengan sebal. Nih cowok, mentang-mentang punya tatapan maut, belagu banget sih...

"Kenapa kamu bisa melihat Leo?" tanyaku.

"Pertanyaan yang sama, kenapa kamu juga bisa melihat dia?" Ia balas bertanya.

"Terjadi begitu aja,"

"Oh, sama. Aku juga terjadi begitu aja," jawabnya. Aku menggigit bibirku kesal.

"Kamu pasti punya 'kekuatan' lain hingga kamu bisa melihatnya? Ya 'kan?" tanyaku.

"Apa kamu juga punya kekuatan lain hingga bisa melihatnya?"

Dante & Kiki [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now