06. Gue ogah jadi pacar loe!

359 27 1
                                    

Aku menyeruak ke kamar Jihan dan mendapati ketiga sobatku sudah berada di sana. Kami memang menjadikan rumah Jihan sebagai base camp karena rumahnya yang paling nyaman. Sebenarnya sih rumahnya nggak besar, juga nggak kecil. Tapi ia punya semacam rumah pribadi yang berada di belakang rumah induk yang terdiri dari kamar tidur, kamar mandi, kamar tamu, dan juga beranda yang menghadap langsung ke kebun bunga. Pokoknya, nyaman banget deh di sana. Belum lagi rumah pribadi itu berada sekitar 100 meter dari rumah induk, sehingga kami serasa punya privasi penuh di tempat ini. Kami bebas melakukan apapun yang kami mau. Nonton film, nyanyi-nyanyi bareng, teriak-teriak kayak orang senewen, pokoknya, all out!

Dan untungnya lagi, Jihan adalah miss complain. Jadi dia nggak akan ngebiarin hal-hal yang nggak perfect di wilayahnya. Rumahnya selalu bersih. Selalu wangi. Selalu adem, selalu penuh makanan dan minuman. Dan dipastikan, makanan dan minumannya selalu enak dan higienis. Hahaha....

"Tolongin aku!" teriakku. Mereka menatapku keheranan.

"Ada apa sih, Ki?"

Aku berjingkat ke sisi Jihan.

"Tolongin aku, Jeeeiiii," ucapku. Aku mengucapkan kata 'Jei' dengan sangat manis.

'Jei' adalah nama panggilan yang sengaja kuciptakan untuk Jihan. Jihan suka banget kalo dipanggil 'Jei', itulah kenapa, kalo lagi ada maunya, aku bersedia manggil dia 'Jei' ratusan kali...

"Hadeh, kalo panggilan 'Jei' keluar dengan nada lebay kayak gitu, pasti ada maunya nih..." Sonya mencibir, dia hafal dengan kebiasaanku.

"Apaan sih? ... Aduh, kamu nggak mandi ya, Ki. Kamu bau, kamu keringetan," ucapnya. Aku nggak menjawab komplain yang keluar dari mulutnya. Aku emang habis lari-lari dari jalan raya ke sini, pantes aja kalo aku keringetan.

"Please, Jei, aku butuh bantuan kamu. Dan kayaknya hanya kamu yang bisa bantu," jawabku.

"Oke, ceritain apa yang terjadi. Jangan teriak-teriak nggak jelas kayak gini," ucapnya.

Aku menelan ludah dan menatap nafasku.

"Gini, beberapa hari yang lalu aku kenal sama cowok. Dia dari SMA 19. Kami ketemu dan kenal beberapa hari yang lalu ketika aku menghadiri acara latihan gabungan klub pecinta alam di sekolahnya," aku mulai bercerita.

Teman-temanku manggut-manggut.

"Setelah itu ... dia ngejar-ngejar aku terus,"

Hening sesaat, dan keempat sobatku ngakak berjamaah. Terutama Sonya.

"Serius kamu dikejar-kejar sama cowok? Emang ada yang mau sama kamu?" Ia nyeletuk. Aku melotot.

Nih anak, sejak jadian sama Dimas, sombongnya tambah selangit.

"Kenapa? Nggak percaya?"

"Terus?" Fifi yang masih fokus dengan ceritaku.

"Ya gitu deh, dia sering telpon aku, sms-in aku, ngasih bunga ke aku. Pokoknya gitu deh. Sumpah, dia cakep banget, manis banget, baik banget, tapi ...,"

Kalimatku terhenti.

"Kenapa?"

"Pokoknya hanya Jihan yang bisa bantu aku. Nanti sore, dia ngajakin ketemu di kafe. Aku udah nolak berkali-kali. Kalo sampek kali ini aku nolak lagi, dia nggak bakalan berhenti ngejar-ngejar aku. So, bantuin aku ya Jei. Temani aku ketemu sama dia, ya?"

Jihan terdiam sesaat, terlihat ragu. Tapi perlahanpun ia mengangguk. Ah, selamatlah aku.

***

Aku bertemu dengan Boy, cowok yang kuceritakan tadi siang, di kafe tempat kami janjian tepat jam 3 sore.

Dan seperti yang sudah kurencanakan, aku hanya mengajak Jihan. Olla, Sonya dan Fifi sengaja kularang ikut karena mereka hanya akan jadi biang kerok.

Jujur aja, Boy tuh cowok yang manis banget. Pertama kali ketemu dengannya, aku sempat kesengsem sama parasnya. Pokoknya, dia sangat-amat-sungguh-manis-sekali! Titik! Tapi, begitu ngobrol 'en deket sama dia, ketahuan deh nih cowok bikin aku garuk-garuk kepala!

Kami sudah berada di kafe selama hampir setengah jam, dan yang dilakukan Boy selama hampir 30 menit itu adalah : Komplain!

Dia komplain tentang apa aja. Pelayan, makanan, minuman, dekorasi, cuaca, bahkan tentang baju yang aku kenakan. Dia bilang bajuku terlalu seksi. Astaga, padahal aku cuma pake celana jeans dan t-shirt!

Dan, pasti kalian tahu apa yang dilakukan oleh Jihan? Ha, sama! Dia juga komplain tentang apa aja yang di komplain oleh Boy. Termasuk masalah bajuku.

"Sehari-hari aku juga pake baju kayak ini 'kan, Jei? Kenapa baru sekarang kamu bilang terlalu seksi?" Aku protes. Jihan mengangkat bahu, cuek.

"Nggak tahu deh. Tapi kayaknya hari ini kamu emang terlalu seksi sih," jawabnya. Dan Boy segera mengiyakan. Sialan...

"Aku nggak mau punya cewek kalo cara berpakaiannya kayak gitu," ia menambahkan.

Aku melotot. Siapa juga yang mau jadi pacarmu?!

Berada di sini lebih lama akan membuat kepalaku meledak. Aku berbisik pada Jihan. Eh, dia malah asyik ngobrol dengan Boy. Aku menyenggol kakinya dengan kasar hingga Ia melihat ke arahku.

"What?"

Ia sempat menatap ke arahku dengan sembunyi-sembunyi. Mulutnya bergerak-gerak seolah ingin menanyakan : Emang ada masalah apa dengan cowok ini?

Dan aku menatapnya dengan dengan kesal seraya membisikkan : Dia satu spesies sama kamu!

Jihan menggeleng.

Dia biasa aja. Tapi dia nyenengin. Ia kembali berbisik.

Aku menarik nafas panjang. Oke, peranku sampai di sini aja.

"Kalian mengobrol aja. Aku pulang, bye," tanpa menunggu mereka berkata-kata, aku meraih tasku dan beranjak meninggalkan tempat tersebut.

Dan, aku lega.

***

Sejak hari itu, Boy tak lagi menggangguku. Ia nggak berkirim pesan, nggak menelpon, dan nggak lagi sok romantis dengan ngirimin bunga. Aku juga nggak nanya macam-macam ke Jihan. Tapi sore itu, ketika kami ngumpul-ngumpul di rumahnya. Ia mulai mengakuinya.

"Beberapa hari ini aku sering jalan sama Boy. Kami makan, hang out, dan pergi ke tempat-tempat romantis. Dan jujur aja, dia cowok yang baik," ucapnya.

Aku manggut-manggut.

"Kamu nggak apa-apa 'kan, Ki?" ia kembali bertanya. Aku mendelik.

"Emang aku kenapa?" tanyaku seraya menyeruput es jerukku, masa bodo.

"Dia 'kan ngejar-ngejar kamu duluan. Dan sekarang, aku mendekatinya. Kamu nggak marah 'kan?"

Aku ngakak.

"Enggak, sumpah, seratus persen asli!" jawabku.

"Iya, Jei. Lagian, Kiki nggak berhak kok marah-marah. Dia 'kan udah nolak Boy, berarti kamu bebas kok memilikinya," Olla menambahkan.

Aku nyengir. Bener banget.

Well, aku emang belum punya pacar, tapi ya nggak segitunya kali hingga aku harus tahan sama cowok kayak Boy.

Dia emang cakep, tapi komplainnya itu yang bikin gak betah. Dia bisa komplain sama semua hal yang aku lakukan. Sok ngatur lagi!

Dan aku bakal sangat stress menghadapinya. Oh, Tidaaaaak!

Tapi Jihan udah nyelesaiin hal itu 'kan? So, hal itu ku anggap beres. Banzai!

***

Dante & Kiki [Sudah Terbit]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant