14. Ujian

473 35 14
                                    

Sejak pernyataan cinta mendadak dari Rangga beberapa waktu yang lalu, hubungan kami sedikit renggang. Kami saling menghindari satu sama lain. Seperti ada kesepakatan tak tertulis di antara kami bahwa kami sama-sama butuh ruang untuk merenung dan berpikir.

Sekarang aku tahu bahwa Rangga mencintaiku, tapi dia tak perlu tahu bahwa aku juga mencintainya.

Ini menyakitkan. Bahkan lebih menyakitkan dari sekedar tahu bahwa ia berpacaran dengan sahabatku.

Tapi sekali lagi, bahwa kami juga seolah sepakat bahwa tak ada dari kami yang boleh mengambil langkah apapun. Maju juga tidak, mundur juga tidak. Karena kami sadar bahwa jika ada di antara kami mengambil sikap, situasi akan semakin rumit. Kami yakin bahwa pengambilan sikap, apapun itu, hanya akan melahirkan KESALAHAN FATAL!

Jadi, biarlah semua apa adanya. Seperti sedia kala. Jika ada yang berubah, biarlah waktu yang menentukan kemana hati kami harus mengambil keputusan.

Lamunanku buyar ketika aku merasakan seseorang menyentuh lenganku. Aku menoleh, dan Dante sudah berdiri di sampingku. Rupanya ia menyentuh lenganku dengan sikunya.

"Mukamu yang suntuk itu lebih nyebelin dari muka pak satpam yang lagi marah-marah," ia menunjuk ke arah pak satpam yang lagi ngedumel ke beberapa anak yang memarkir sepeda motornya di tempat yang salah. Aku mencibir.

Sekarang Dante juga hafal kebiasaanku. Ketika aku lagi suntuk, aku memang selalu 'melarikan' diri ke atap gedung, dan karena dia cenayang, dia bisa dengan mudah menemukanku.

"Kamu nggak lagi baca pikiranku 'kan?" semprotku.

Ia menggeleng.

"Beneran?"

Dante mendesah.

"Beneran. Nih, lihat aja sendiri," cowok itu kembali berpaling dan kami bertatapan. Aku menatap ke arah sorot matanya dan mata teduh itu terlihat ... santai. Oke, aku percaya padanya.

Ha, kadang aku sendiri tak percaya dengan apa yang ku jalani dengan Dante. Percayalah, sekarang persahabatan kami berjalan dengan amat baik. Kadang aku sendiri mengira bahwa Dante yang sedari awal dingin dan angkuh, akan sangat sulit di ajak sahabatan. Tapi ternyata, aku salah.

Persahabatan kami mengalir begitu saja, sangat alami. Dan aku benar-benar bersyukur pada Tuhan karena dia cowok yang menyenangkan dan perhatian. Semakin hari kami semakin akrab. Dan hal yang luar biasa adalah, sekarang aku makin sering melihatnya tersenyum dan tertawa. Sungguh itu sebuah anugerah. Yakin deh, senyum itu juga makin sering membuatku klepek-klepek! Haha...

Kami juga mulai sepakat tentang beberapa hal. Termasuk soal membaca pikiran. Karena kami sudah bersahabat, kami sepakat soal privacy. Dante bersedia untuk tidak lagi membaca pikiranku seenak jidatnya. Dan ia membagi rahasianya padaku bahwa jika ia sedang membaca pikiran seseorang, sorot matanya akan terlihat serius. Tapi jika tidak, maka mata bening itu akan terlihat santai dan ramah.

Lagipula, ia mengatakan bahwa membaca pikiran seseorang benar-benar menyedot energi. Ia pernah mengatakan bahwa ia sempat jatuh pingsan setelah membaca pikiran seseorang.

"Waktu itu kamu sempat membaca pikiranku, kenapa nggak jatuh pingsan?" tanyaku waktu itu. Dan Dante hanya mengangkat bahu tak mengerti.

"Aku sendiri juga nggak tahu. Biasanya setelah membaca pikiran seseorang, energiku tersedot habis. Tapi denganmu, entahlah, semua terjadi begitu saja. Tak seburuk biasanya," itu jawabannya. Dan aku tak menanyakan lebih lanjut tentang perbedaanku dengan orang lain itu, karena Dante pun mati-matian tak tahu alasannya.

Dante & Kiki [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now