Vol 3 halaman 2

13.4K 243 13
                                    

Melihat ibu mertuanya tertawa, Yuri ikut tersenyum sambil membayangkan sosok Ryu ketika masih kecil.

"Lalu, apa hubungannya gadis kecil itu dengan luka dipunggung Ryu?"

Ryu terkejut mendengar pertanyaan Yuri, tangan kanannya bergerak menyentuh bekas luka dipunggung dekat bahunya.

Sedikitpun Ryu tidak ingat, kenapa bisa ada luka seperti itu ditubuhnya.

Ibu mertuanya kembali bercerita setelah tawanya mereda, "Ryu terjatuh dari pohon saat hendak menggapai tali balon itu. Ibu sangat menyesal karena tidak mencegahnya waktu itu, padahal ibu memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh," ibu Ryu memperlihatkan wajah sedihnya.

Yuri terdiam, serius mendengarkan.

"Pohon itu sangat tinggi Yuri, untung saja kepala dan sebagian tubuh Ryu mendarat tepat diatas boneka beruang besar milik gadis kecil itu. Kalau tidak, mungkin putraku tidak akan selamat, jadi hanya kaki dan tangannya saja yang terkilir dan lecet-lecet, akan tetapi ...."

"tetapi apa bu?" tanya Yuri penasaran.

"tetapi bandul kalung boneka itu yang terbuat dari alumunium berbentuk bintang pipih menancap sangat dalam dipunggung dekat bahunya."

"Apa?" tanpa sadar Yuri meringis.

"Perlu dioperasi untuk mengeluarkannya. Waktu itu ibu sangat panik dan agak kerepotan. Ayah Ryu sedang dikantor, orang tua gadis kecil itu juga belum pulang. Beberapa pekerja taman membantu mengangkat tubuh Ryu ke dalam mobil, sedangkan ibu menggendong gadis kecil itu yang terus menangis histeris karena melihat noda darah di kaos putih yang Ryu pakai."

Yuri kembali meringis membayangkan Ryu yang terluka, entah mengapa rasa sedih dan khawatir memenuhi hatinya.

"Waktu itu umur Ryu berapa tahun?"

"Emm ... hampir sebelas, tetapi tinggi badannya sudah hampir menyusul ibu," ibu Ryu menyentuh pundaknya mengira-ngira tinggi badan Ryu waktu itu.

"Ah, ibu juga merasa bersalah pada gadis kecil itu," kini tangan ibu Ryu membelai lembut kepala Yuri.

Ryu memasang telinganya lebar-lebar, karena penasaran.

"Memangnya kenapa, apa ibu memarahinya?" sepasang mata coklat Yuri menatap penuh keingintahuan.

Sekali lagi ibu mertuanya menghela napas, "tidak Yuri, ibu tidak memarahinya. Gara-gara ibu kurang memperhatikannya gadis berumur lima tahun itu hilang berjam-jam dirumah sakit. Maafkan ibu Menantuku, maafkan ibu ...."

Yuri bingung ketika tiba-tiba ibu mertuanya memeluknya.

Ryu berdiri mematung karena terkejut, "ti-tidak, apa mungkin gadis kecil itu ...," gumannya pelan.

"Maafkan ibu Yuri, gara-gara ibu, kau jadi phobia pada rumah sakit. Lihatlah sekarang, kau sakit begini seharusnya tidak dibiarkan dirumah seperti ini, kalau dirumah sakit kau akan lebih terawat."

"A-aku, a-apa maksud ibu? A-aku tidak mengerti. A-aku ti-tidak mau kesana, jangan bawa aku kesana bu, aku mohon jangan," kata Yuri bingung bercampur takut.

Ibu mertuanya menangis melihat wajah Yuri yang jadi memucat dan gelisah.

"Tenanglah nak, tenang," ibu Ryu menyusut air matanya kemudian cepat berpikir untuk mengalihkan pembicaraan.

Ryu menyandarkan kepalanya di dinding lorong, berusaha menahan diri agar tidak mendekat.

Ia tidak boleh mendekat sekarang, masih banyak yang ingin didengarnya dari perbincangan mereka.

"Emm ... kau tidak bisa menebak siapa gadis kecil itu Yuri?" tanya ibu Ryu sambil kembali membelai rambut panjangnya.

Yuri menggeleng lemas, bayangan rumah sakit samar-samar masih menganggunya.

Mata ibu mertuanya memandangi boneka beruang milik Yuri yang tergeletak di samping tempat tidur.

Mengambilnya kemudian mendekatkannya pada Yuri, "terimakasih beruang, kau telah menyelamatkan putraku."

Mata yuri membulat semakin bingung dengan apa yang ibu mertuanya katakan.

"Beruang? Jadi boneka ini?"

Ibu Ryu tersenyum, "ya, boneka ini yang menyelamatkan putraku, dan pemiliknya adalah gadis kecil itu."

Yuri menatap tidak percaya, sedangkan Ryu kembali menyentuh bekas lukanya, "pantas saja aku merasa tidak asing saat pertama melihat boneka beruang itu, tapi kenapa sedikitpun aku tidak ingat pada pemiliknya?" pikir Ryu heran.

"Jadi sewaktu masih kecil aku sudah pernah bertemu dengan Ryu? Tapi kenapa sedikit pun aku ga ingat?" tanya Yuri yang juga heran.

"Waktu itu kau masih sangat kecil Yuri, dan lagi seminggu setelah kejadian itu ayahmu pindah tugas ke belanda, kemudian ke prancis. Wajar saja kalau kau tidak ingat, karena baru tiga tahun ini kalian kembali ke jepang."

"Apa Ryu ingat ia pernah bertemu denganku?" tanya Yuri dengan penuh harap.

Ibu mertuanya kembali tersenyum karena merasa berhasil membuat Yuri melupakan sejenak ketakutannya.

"Sepertinya tidak," katanya sambil sedikit berpikir.

Ia teringat perdebatan dengan putranya saat meminta Ryu untuk menikahi Yuri waktu itu.

Ada sedikit rasa kecewa yang menyusup kehati Yuri, "Ryu tidak ingat?" gumannya lirih.

Seakan tahu apa yang dirasakan Yuri, ibu mertuanya berkata, "tapi sekarang itu tidak masalah bukan? Ibu lihat Ryu sangat menyukaimu, ia terlihat lebih terbuka padamu Yuri. Putra kesayangan ibu itu sangat pendiam dan tertutup sebelumnya. Kau juga menyukainya bukan?"

Yuri tidak menjawab, godaan ibu mertuanya membuat wajah Yuri memerah karena malu.

Tidak jauh dari sana Ryu tersenyum sendiri.

"Wah, ternyata sudah hampir tengah malam. Tidurlah Yuri, biar ibu yang menunggu Ryu pulang. Ah, anak itu, apa ia selalu seperti ini Yuri?"

Yuri menggelengkan kepala, "biasanya paling malam jam 8 Ryu sudah ada dirumah."

Yuri jadi khawatir takut terjadi apa-apa pada Ryu.

Orang yang dikhawatirkan malah tersenyum semakin lebar sambil kembali melangkah keluar kamar.

---

Early weddingWhere stories live. Discover now