Vol 3 halaman 8

12.1K 213 9
                                    

Mine terus berlari mencari Kobe.

Sudah 15menit ia berkeliling namun orang yang dicari belum juga ketemu.

Biasanya bila ada jam kosong hanya main basketlah yang dilakukan oleh temannya itu.

Tapi sekarang, "kemana dia?" Mine duduk beristirahat diatas rumput yang dipijaknya.

Taman belakang sekolah terlihat masih sepi. Bel istirahat berbunyi satu jam lagi.

"Aaagh ... kau tidak melihatnya sih ...."

Mine terkejut mendengar suara itu, "sepertinya dari arah sini."

Ia berjalan mengendap-ngendap mendekati sisi pot besar di dekat kolam ikan yang tepat berada di belakangnya.

"Kobe ...!" teriaknya riang.

Ryu dan Kobe yang mendengarnya sampai meloncat karena kaget.

"Fiuh, Mi-Mine, kau ... mengagetkan. Ah, jantungku hanya satu."

"Maaf, habisnya aku capek keliling-keliling sekolah mencarimu."

"Apa? Mencariku? Baru ditinggal sebentar, sudah rindu yah?" goda Kobe.

Ryu berdehem, "ehm, sepertinya aku harus pergi."

"Jangan ...!" cegah Mine.

Akibat dari seruannya itu ia mendapat tatapan bertanya dari keduanya. Mine jadi gugup.

"Apa ada yang terjadi?" tanya Kobe pelan.

"Emm ... Yu-Yuri chan ...."

"Ada apa dengan Yuri?" tanya Ryu cepat.

Wajah tenangnya seketika berubah menjadi khawatir.

Mine melirik Kobe yang menunjukan expresi wajah serupa dengan sepupunya itu.

"Yuri chan pulang lebih awal. Ia pergi sudah dari setengah jam yang lalu. Katanya ia butuh istirahat, tadi aku sudah menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi Yuri tidak mau. Aku ...."

Kata-kata Mine terhenti, tanpa mengatakan apa-apa Ryu pergi berlari meninggalkan mereka berdua.

Kobe mendesah terus menerus sambil berguman, "aku bilang apa tadi. Aaagh, bibi waktu itu ngidam apa sih sampai punya anak seperti dia ...."

"Kobe?"

"Hmm?"

"Aku--aku khawatir, sebenarnya ada apa antara Yuri dan Sensei itu?"

Kobe memandangi wajah Mine yang penasaran. Otaknya berputar cepat, kira-kira cerita karangan apa lagi yang cocok untuk dijadikan jawaban atas pertanyaan sahabat kakak iparnya ini.

Ryu mempercepat langkah kakinya. Menyerahkan tugas materi kepada beberapa kelas yang dalam jadwal seharusnya praktek tendangan dan pukulan hari ini.

Pikirannya kacau, yang ada didalam kepalanya hanya Yuri dan Yuri.

Dirinya sudah tidak sabar ingin segera sampai ke apartemen untuk memastikan istrinya itu benar-benar pulang kesana.

Mobil Lamborghini putihnya melaju dengan sangat kencang. Berulang kali ia memencet klakson mobilnya dengan tidak sabar saat ada beberapa pejalan kaki dan kendaraan yang menghalangi jalan mobilnya.

Ryu juga mencoba menghubungi ponsel istrinya itu namun tidak ada yang menjawabnya.

"Benarkah apa yang dikatakan Kobe tadi? Bukankah aku sudah memintanya percaya padaku? Apa sikap dan pernyataanku selama ini tidak cukup kuat sebagai bukti perasaanku padanya? Yuri ...."

Ryu sangat mencemaskannya.

Ia takut terjadi apa-apa pada Yuri, terlebih tadi ia sudah nekad menyeret wanita itu supaya pergi dari sekolah.

Ia begitu khawatir akan keselamatan Yuri.

Ryu merasa waktu dua puluh menit berlalu dengan lambat.

Setelah memarkir mobilnya di depan apartemen, ia segera berlari masuk kedalam lift, menekan angka dua, menunggu pintu lift terbuka kembali dengan tidak sabar.

"Yuri ..." panggilnya setelah membuka kunci pintu.

Sendal boneka berwarna kuning yang biasa digunakan oleh Yuri dirumah masih tergeletak ditempatnya.

Tubuh Ryu seakan melemas melihatnya, berarti istrinya itu belum pulang kerumah.

"kemana dia?"

penasaran dicarinya Yuri keseluruh ruangan apartemennya.

Tidak ada siapa-siapa, "Yuri ..." panggilnya lagi.

Sunyi tidak ada yang menjawab.

Dengan napas memburu Ryu kembali berlari keluar.

Berbagai pikiran buruk membuatnya bertambah tidak tenang.

Yuri sudah menghabiskan ice cream porsi keduanya.

Ia memasukan sesendok demi sesendok ice cream kemulutnya tanpa memperhatikan sekitar.

Wanita itu mulai kesal menanti, "selain kurang ajar, sepertinya bocah itu juga ceroboh. Cih, apa bagusnya bocah itu sampai-sampai Ryu bisa meliriknya, tersenyum padanya, memperhatikannya?" wanita itu bicara sendiri.

Suasana cafe sedikit ramai siang ini, pura-pura wanita itu berjalan melewati Yuri beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi.

Yuri sudah seperti patung hidup saja.

Saat semua orang dirasa tidak ada yang memperhatikannya, cepat-cepat ia duduk tepat di belakang kursi yang Yuri tempati.

Posisi mereka sekarang saling memunggungi.

Mula-mula wanita itu mengeluarkan bedaknya. Pura-pura bersolek padahal yang dilakukannya adalah memerhatikan sekitarnya dengan kaca kecil yang ada ditangannya.

Senyum senangnya terukir saat melihat Yuri masih menikmati ice creamnya dengan tatapan melamun tanpa menyadari kehadirannya.

Suasana disekitar mereka pun cukup sepi karena tempat yang Yuri duduki terletak di bagian sudut belakang cafe.

Setelah yakin keadaannya mendukung, wanita itu mulai mengeluarkan pisau lipat dari dalam tasnya.

"ini hanyalah hadiah kecil dariku bocah. Tenang saja, ini tidak akan sesakit hatiku saat melihat Ryu dekat denganmu," gumannya pelan seraya mulai menarik mata pisau itu pada posisinya.

"Aku harap hadiah ini cukup untuk membuatmu jera, tidak mendekati Ryu-ku lagi," wanita itu mulai bersiap mengarahkan pisaunya ke punggung Yuri dari balik punggungnya sendiri.

Wanita itu menarik napasnya berkali-kali, bersiap menyiapkan tenaga untuk mendorong pisau itu supaya bisa menancap dalam.

"Tidak boleh ada yang yang memilikinya, Ryu milikku, hanya boleh jadi milikku, ia hanya milikku," gumannya lagi.

Mata wanita itu mulai terpejam, bersiap melaksanakan rencana yang ada dibenaknya.

Early weddingWhere stories live. Discover now