Vol 3 halaman 4

13.1K 229 19
                                    

***

"Emmm ...."

Yuri mengemut sebuah permen bundar berukuran besar sambil tersenyum-senyum.

Menjilatinya beberapa kali sampai tiba-tiba terdengar suara-suara desahan halus dan gaduh disekitarnya.

"Aaw, ya ampun bibi, hati-hati ...!" seru Kobe tertahan sambil meniup tangannya yang terinjak.

Yuri heran mendengarnya, terdiam sejenak kemudian kembali menikmati permennya. Suara desahan halus kembali terdengar oleh telinganya.

"Aduh, Kobe jangan melihat kesana. Umurmu belum tujuh belas tahun," bisik ibu Ryu panik tangannya sibuk menutup mata Kobe.

"Bibi, dua minggu lagi umurku tujuh belas."

"Stt...kecilkan suaramu, nanti mereka terbangun. Nah...aduh...ya ampun Kobe, kau tidak boleh melihatnya," bisik ibu Ryu semakin panik sambil menarik Kobe menjauh.

"Bibi tapi..."

"Stt...cepat sembunyi."

Yuri terdiam dalam posisinya. Ia merasa suara-suara itu nyata, setelah mendengar langkah-langkah kaki menjauh perlahan ia mencoba menggerakan matanya yang masih terpejam.

Walaupun terasa berat, beberapa kali ia mencoba membuka matanya, mengerjap pelan, mengumpulkan nyawa-nyawanya sambil berusaha memerhatikan keadaannya sekitarnya.

Rambut hitam adalah hal pertama yang dilihatnya.

Kedua tangannya melingkar erat pada leher seseorang sedangkan bibirnya menempel tepat pada sebuah daun telinga.

"Mana permennya?" pikir Yuri heran belum sadar sepenuhnya.

Tadi ia merasa tengah menikmati sebuah permen lolypop berukuran besar.

"Tapi kemana permennya? Hmm...ini seperti wangi shampo..." Yuri berpikir sejenak tanpa bergerak dari posisinya, mengingat-ngingat wangi yang terasa tidak asing di hidungnya ini.

Tiba-tiba sebuah gerakan halus membuat dirinya terkejut.

Rambut hitam di depannya perlahan menyapu wajahnya yang masih agak mengantuk.

"Kau ... membuatku terbangun," bisik pemilik rambut itu sambil merapatkan pelukannya.

Mata Yuri membulat perlahan melihat wajah dan senyuman jahil yang dikenalnya terlihat sangat jelas dihadapannya.

"Kyaaaaa....!" jerit Yuri histeris.

Jantungnya berdebar kencang saat menyadari siapa yang ada di dekatnya.

"Hei...hei! Yuri chan, kau kenapa?!" seru Mine khawatir.

Yuri mengerjapkan matanya berkali-kali, mengatur napas sebelum memberanikan diri membuka matanya kembali.

"Mine?"

Beberapa detik kemudian Yuri baru tersadar, hari ini adalah hari pertama ia masuk lagi ke sekolah setelah beberapa hari beristirahat di rumah.

Bel tanda masuk belum berbunyi, beberapa temannya yang berada di dalam kelas saling berbisik sambil memandang aneh pada Yuri.

Yuri menghela napas panjang, sudah dua hari berlalu semenjak kejadian pagi itu.

Pagi dimana ia terbangun dengan posisi yang membuatnya kaget sekaligus malu.

Bagaimana tidak malu? Yuri mendapati dirinya terbangun sambil memeluk leher Ryu dan mengemut daun telinga suaminya.

Belum lagi Kobe, ibu dan ayah mertuanya sengaja duduk menonton saat mereka sedang tertidur disana.

Koran dan cangkir-cangkir teh yang berserakan di sekitar sebagai saksinya.

"Aaarggh.... Ini semua gara-gara mimpi permen sialan," geram Yuri dihati.

Kedua tangannya mengacak-acak rambut kemudian menariknya kedepan menutupi seluruh wajahnya.

Ia sangat malu sekaligus kesal pada kecerobohannya sendiri. Senyuman aneh Ryu terus menari-nari dibenaknya.

Sepasang mata Mine bersinar penuh tanda tanya. Ia hampir menangis melihat sikap aneh temannya itu.

"Apa ini akibat dari hampir tertabrak waktu itu yah?" tanyanya dihati.

Ia memandang temannya yang masih menarik-narik rambutnya sendiri.

"Yu...Yuri chan? K-kau ti-dak apa-apa?" tanya Mine takut-takut.

Yuri diam saja tidak menjawab. Mine mengaruk-garuk kepalanya dengan bingung.

"Yuri chan?!" teriak Mine sambil mengguncang-guncang pundak temannya.

Yuri menoleh, terdiam sebentar kemudian secepat kilat memeluk Mine erat-erat.

"Hiks...hiks...huwaaa... Mine, aku tidak mau makan permen lagi, tidak mau...." kata Yuri disela isak tangisnya.

"Yu-Yuri...."

"Aku tidak mau makan permen lagi Mine, pokoknya tidak mau, hiks...hiks...."

"Yu-Yuri, kau...."

"Aku tidak mau Mine, tidak mau... Pokoknya tidak mau... Aku tidak mau...tidak mau, tidak mau...."

Kening Mine berkerut sebelum akhirnya membalas pelukan Yuri.

"Huh...cup-cup-cup, sudah-sudah jangan menangis. Coba sini aku lihat gigimu, sebelah mana yang sakit?" tanya Mine sambil tersenyum, tangannya bergerak merapikan rambut panjang Yuri yang berantakan.

"Emm?" tanya Yuri tidak mengerti.

"Sini coba kulihat, ayo buka mulutmu. Apa tambalan yang waktu itu lepas lagi?"

Mine membuka paksa mulut Yuri memerhatikan sebuah gigi geraham kanan bagian bawah.

Yuri mengerutkan keningnya pertanda bingung.

"Hmm ... tambalannya tidak lepas, coba kulihat pasti ada gigimu yang bolong lagi," Mine memeriksa gigi Yuri sekali lagi.

Kali ini Yuri agak berontak.

"Jangan bergerak Yuri chan, aku belum selesai memeriksa. Hmm... Kau pasti makan permen sambil tidur lagi yah? Aku kan sudah bilang, itu kebiasaan buruk tahu? Gigimu bisa rontok nanti. Hmm...Aneh, tidak ada yang bolong, Yuri chan gigi sebelah mana yang sakit?" tanya Mine tidak sabar.

Yuri bengong sesaat, mengambil napas lalu, "Hiks...hiks, huwaaa....!!"

Yuri menangis lagi karena gemas, temannya ini benar-benar tidak mengerti.

"Aduh ya ampun, cup-cup...Yuri chan sekarang kau sudah besar, jangan menangis keras-keras seperti ini, kalau sensei Yoroshii Ryu sampai tahu bagaimana?" kata Mine panik bercampur bingung.

Tangisan Yuri malah semakin menjadi karena mendengar Mine menyebutkan nama suaminya.

"Kyaaa....lihat sensei Yoroshii menuju kemari!" seru salah satu teman sekelasnya.

Early weddingWhere stories live. Discover now